Menara Abraj Al Bait adalah
sebuah kompleks bangunan yang terletak di kota kelahiran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam, Makkah, Arab Saudi.
Kompleks bangunan ini dirancang oleh para arsitek dari Dar Al Handasah
Architects dan pelaksanaan pembangunannya dilakukan oleh Saudi Binladin Group. Lokasi menara ini berada
di seberang jalan Masjidil Haram.
Menara Abraj Al Bait dan Masjidil Haram
Di puncaknya, terdapat jam besar
dengan empat sisi yang diharapkan akan menjadi panduan waktu bagi 1,5 miliar
umat Islam di seluruh dunia, ditopang oleh menara paling tinggi kedua di dunia
setelah Burj Khalifa di Dubai, Uni Emirat Arab. Masing-masing sisi berdiamater
41 meter dan terbuat dari keramik. Mengalahkan jam raksasa di Mall Cevahir,
Istambul, yang berdiameter 36 meter.
Baru satu dari empat sisi jam yang
telah selesai dan ditutup dengan 98 juta lembar kaca mozaik. Beberapa bagiannya
dilapisi emas.
Posisi jam sekitar 400 meter dari
Masjidil Haram. Jam raksasa itu dipasang pada ketinggian 601 meter. Mengalahkan
Menara Taipei 101, yang berketinggian 509 meter, tapi masih di bawah Burj
Khalifa, yang berketinggian 828 meter.
Jam ini juga lebih besar enam kali
dibandingkan Big Ben di London, Inggris. Masing-masing sisi dilengkapi lafaz
Allah dalam transliterasi Arab, yang terletak di atasnya.
Jam ini juga dihiasi dua juta
lampu warna-warni. Dan sebanyak 21.000 lampu berwarna putih dan hijau akan
berpendar setiap kali adzan dikumandangkan. Cahaya lampu itu akan terlihat
hingga 30 km.
“Kami, penduduk Makkah, berharap,
ini akan menjadi pusat zona waktu dunia. Bukan hanya sebuah jam yang
dipertunjukkan,” kata Hani Al-Wajeeh.
Jam tersebut berlatar belakang
hiasan pedang yang bersilang dan pohon palem, sebagai simbol negara Saudi.
Menurut Mohammed Al-Arkubi,
manajer The Royal Mecca Clock Tower Hotel, gedung yang berada di bawah jam
raksasa itu, tender pembangunan jam dimenangkan sebuah perusahaan dari Jerman.
“Ini merupakan megaproyek,” katanya.
Berdirinya jam raksasa ini
merefleksikan salah satu keinginan umat Islam dunia menggantikan standar waktu
universal yang telah berusia 126 tahun yang dikenal sebagai GMT.
Pada konferensi di Doha, 2008,
para ulama dan ilmuwan itu mengungkapkan bahwa Makkah adalah pusat dunia.
Menurut ulama ternama asal Mesir, Yusuf Al-Qardawi, Makkah merupakan garis
bujur utama karena sangat sejajar dengan Kutub Utara.
Klaim Makkah sebagai zona magnet
nol juga didukung ilmuwan Arab lainnya, seperti Abdel-Baset Al-Sayyed dari
Pusat Penelitian Mesir. “Jika seseorang tinggal di Makkah cukup lama, akan
lebih sehat, karena sedikit sekali terpengaruh gravitasi bumi,” ujarnya.
Kompleks Abraj Al-Bait berada di
jalanan dari pintu selatan Masjidil Haram. Kompleks itu terdiri atas enam
gedung dengan 42 hingga 48 lantai.
Kompleks tersebut memiliki 3.000
kamar hotel dan apartemen, ditambah lima gedung pusat perbelanjaan serta 1,5
juta meter persegi bangunan untuk lobi. Arsitek dan perusahaan konstruksi yang
membangun gedung tersebut sama dengan yang mendesain Terminal Tiga Bandara
Internasional di Dubai, yakni pengembang Bin Laden Group. Kompleks ini memiliki
tiga hotel papan atas, yakni The Fairmont, Raffles, dan Swiss Hotel.
Di sini juga terdapat apartemen
mewah, sebagian besar didesain agar mampu melihat langsung Masjidil Haram.
Proyek itu merupakan bagian dari
rencana pemerintah Saudi untuk mengembangkan Makkah agar mampu menampung 10
juta jama’ah haji tiap tahunnya. Saat ini Makkah hanya mampu menampung tiga
juta jama’ah haji.
Pada musim haji, menurut arsitek
Dar Al-Handasah, kompleks tersebut mampu menampung 65.000 jama’ah haji.
Nantinya akan disediakan elevator bagi pengunjung yang ingin melihat balkon jam
tersebut. Kemudian ada juga observatorium astronomi dan museum Islam.
Menurut Kementerian Agama Saudi,
keseluruhan proyek jam raksasa menelan biaya 800 juta dolar AS (Rp
7.200.000.000.000.000)
Dukungan
dari Indonesia
Rencana pemerintah Arab Saudi
memindahkan pusat waktu dunia dari Inggris ke Makkah disambut baik
Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sabtu lalu,(11/5), Komisi Ukhuwah Islamiyah
Majelis Ulama Indonesia, menggelar pertemuan untuk membahas kemungkinan
pergantian acuan waktu dunia dari Greenwicht Mean Time (GMT) menjadi waktu
Mecca Mean Time (MMT). Hadir dalam pertemuan tersebut utusan kedubes Arab
Saudi Dr.Mas’ud bin Sa’ad Al-Khomidi, Peneliti Senior Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional (Lapan) Prof.Dr.Thomas Djamluddin serta sejumlah pengurus
pusat MUI antara lain, Tengku Zulkarnain, MA, Prof. Dr. Muhammad Amin dan Dr.
H. Ahmad Izzudin, M.Ag.
Seperti diketahui, selama ini kita
hanya mengenal satu standar waktu yakni jam yang dihitung dari bujur 0 derajat
yang melewati Observatorium Greenwich di inggris (GMT). Aturan yang sudah
berlaku ratusan tahun ini yang ingin ditantang Makkah. Pemerintah Arab Saudi
berharap jam Menara Makkah ini menjadi acuan 1,5 miliar muslim di dunia.
Menurut Prof.Dr.Thomas Djamluddin,
gagasan yang menjadikan Makkah sebagai acuan zona waktu umat muslim di dunia,
setelah dibangunnya jam besar yang berada di Masjidil Haram, Kota Makkah
diharapkan menjadi acuan zona waktu. Keinginan besar yang membutuhkan
kesepakatan yang tidak mudah itu nantinya diharapkan akan membangun semangat
untuk mempersatukan umat Islam di seluruh dunia.
Ketua Umum PP Muhammadiyah yang
juga Wakil Ketua Umum Pengurus Pusat MUI Dr. H. Din Syamsuddin dan Ketua Umum
PBNU Dr. KH. Said Aqil Siraj menyambut baik hasrat pemerintah Arab Saudi itu.
Din berpendapat bahwa hal itu merupakan ide baik dan boleh-boleh saja. Tetapi
tentu, perlu ada kesepakatan dari sejumlah pihak tentang pergeseran pusat waktu
dunia ini, termasuk kesepakatan negara-negara di belahan dunia lain yang
mengikuti acuan GMT. "Sikap pemerintah Indonesia juga perlu diambil
melalui pertemuan khusus untuk membicarakan hal ini. Nanti kita bicarakan
bersama pemerintah," katanya.
Namun, Diingatkan hal
penting yang harus diperhatikan adalah soal pembangunan akhlak. Jangan sampai
sensasi tentang gedung tertinggi kedua di dunia tersebut sebatas seremonial
saja. Tidak hanya itu, pemerintah Arab Saudi juga disarankan untuk melakukan
pertemuan lintas negara agar mencapai sebuah kesepakatan.
Sementara itu, pakar astronomi ITB
Moedji Raharto menyarankan agar MMT nantinya dijadikan jam hijriyah. Usaha
pemerintah Arab Saudi untuk menggeser pusat waktu dunia ke Makkah memang bukan
perkara mudah. Hal yang bisa dilakukan sekarang adalah dengan menjadikan jam
raksasa tersebut sebagai acuan waktu hijriah terlebih dahulu.
"Sekarang kan baru ada
penanggalan hijriah, kenapa tidak dibuat saja semacam penyatuan waktu untuk jam
hijriah," kata Moedji Raharto sambil mengakui bahwa butuh usaha besar
untuk menjadikan Makkah seperti Greenwich Mean Time (GMT). Sebab, negara-negara
lain yang terlanjur menggunakan acuan waktu di wilayah tenggara London tersebut
akan melakukan penyesuaian besar-besaran.
Dari berbagai sumber.
mungkinkah... awal menuju persatuan ummat Islam dan membentuk sebuah daulah khilafah Islamiyyah?
BalasHapusWallahu a'lam..
BalasHapusNamun yang pasti, langkah Saudi Arabia ini patut diapresiasi oleh kita kaum muslimin.