26 Nov 2016
Mencintai Allah dan Rasul dengan Sederhana
Malam
siang bergantian setiap harinya mengawal kehidupan manusia . Manusia hidup
kemudian mati lalu kembali hidup , begitu terus hingga kematian yang
sesungguhnya menjemput . Aktivitas-aktivitas yang dilakukan semua bermuara pada
tujuan yang bermacam-macam . Jalan yang ditempuh oleh umat manusia dalam
berusaha pun tidak kalah berwarnanya. Ada yang berdagang , ada yang bertani ,
ada yang berdasi sambil menenteng koper ,juga ada yang
membawa kecrekan serta sekantong plastik bekas permen kopi .
Begitulah
manusia setiap harinya, waktunya dihabiskan hanya untuk beraktivitas kerja ,
kerja dan kerja . Malah ada kondisi dimana mereka semua sibuk mengumpulkan tapi
lupa untuk menikmati . Sikut kanan dan sikut kiri untuk mengejar kebutuhan yang
dia sendiri pun tidak punya waktu untuk menikmatinya . Mungkin memang benar dunia
adalah tempat yang sibuk sedangkan istirahat yang abadi hanyalah kampung
akhirat .
Benarkah hidup hanya sekadar kerja, kerja, dan kerja?
Allah menciptakan manusia lebih dari sekedar untuk
bekerja . Mereka pun ada yang sehari-harinya hanya berdiam diri di masjid dan
beribadah mengaku cinta kepada Allah dan rasulnya tapi kebutuhannya sendiri
tidak dapat dipenuhi . Apakah Allah menciptakan hanya untuk beribadah ? Kalau
itu saya setuju . Tetapi perlu ada sedikit perbaikan dari pola pikir dua titik
ekstrim ini .
Dikisahkan tentang tiga pemuda yang tercantum dalam suatu hadis berikut,
Dari Anas ia
berkata, “Ada tiga orang yang datang ke rumah istri-istri Nabi shallAllahu
‘alaihi wa sallam untuk bertanya tentang ibadah Nabi shallAllahu ‘alaihi wa
sallam. Saat mereka diberitahu, maka sepertinya mereka menganggapnya sedikit,
lalu mereka berkata, “Bagaimanakah keadaan kami dibanding Nabi shallAllahu
‘alaihi wa sallam yang telah diampuni dosa-dosanya yang lalu dan yang akan
datang.” Salah seorang dari mereka berkata, “Adapun saya, maka saya akan shalat
malam selama-lamanya.” Yang lain berkata, “Saya akan berpuasa selama-lamanya
dan tidak akan berbuka.” Sedangkan yang lain lagi berkata, “Saya akan menjauhi
wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya.” Maka datanglah Rasulullah shallAllahu
‘alaihi wa sallam kepada mereka dan bersabda, “Kalian yang berkata begini dan
begitu. Ketahuilah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah
dan paling takwa kepada-Nya. Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat
dan aku tidur, dan aku menikahi wanita. Barang siapa yang tidak suka sunnahku,
maka ia bukan termasuk golonganku.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Allah tidak
menghendaki orang-orang yang berlebihan dalam beragama . Berlebihan berarti
menambah-nambah sesuatu yang tidak ada pada asal awalnya . Tidak sesuai dengan
ajaran yang disampaikan baginda Nabi Muhammad SAW. Allah juga melarang hamba-hambanya untuk
mengejar ambisi duniawi . Memperturutkan syahwat yang sebelumnya fitrah berubah
menjadi fitnah .
merupakan hal yang hina ketika manusia ,
yang tercipta untuk menjadi khalifah di muka bumi hanya bekerja dan bekerja
tanpa memikirkan akhiratnya . Merugi lah orang yang seperti itu , berlaku
layaknya robot .
Kehidupan dunia
dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina
orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia
daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezki kepada orang-orang yang
dikehendaki-Nya tanpa batas. (Al Baqarah :212)
Maka sudah seharusnya mengambil langkah
bijak menyikapi dua titik ekstrim tersebut . Orang yang
bijak tidak akan melupakan akhiratnya dalam pencarian dunianya
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. Al Qashshash: 77).
Apabila kita
membaca sejarah-sejarah yang telah lalu , bagaimana Abu Bakar RA ingin
menyedekahkan seluruh amalnya apabila beliau tidak memiliki perdagangan yang
menghasilkan harta . Lalu bagaimana kebijakan Nawaib –pembebanan pajak yang
tinggi kepada muslimin yang kaya- pada perang tabuk dapat dijalankan dan
akhirnya membiayai jalannya perang tersebut apabila umat muslim pada saat itu
tidak memiliki harta yang banyak ? Lalu bagaimana seorang mustahik dapat
mendapatkan bagiannya apabila diantara umat muslim semuanya adalah orang-orang
yang “alim” dan “mengejar akhirat?”
Maka kita
dituntut mampu memahami hakikat diri kita . Kita harus mampu memahami hak-hak
lain yang terdapat pada diri kita . Hak Allah untuk disembah karena Ia telah
memberikan segala anugrahnya yang tidak putus-putus , Hak Rasulullah untuk kita
doakan karena Ia telah membimbing kita dari gelapnya kejahilan menuju indahnya
cinta kasih islam , Hak orang tua kita yang telah membesarkan kita dengan susah
payah , Hak pekerjaan kita yang karena kita sudah memilih dan mendapatkan upah
dari sana , serta hak-hak lain yang melekat pada diri kita .
Orang - Orang Kesayangan
Diriwayatkan oleh Ibnu Jauzi dari
Ikrimah dan Yazid bin Abi Ziyad bahwasannya Rasulullah SAW, keluar bersama Abu
Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, dan Abdurrahman bin Auf mendatangi rumah
Ka’ab bin Asyraf dan seorang Yahudi dari bani Nadhir untuk menagih pembayaran
diat (denda) atas mereka. Tuan rumah mempersilahkan rombongan Rasulullah
layaknya seorang tamu agung. Mereka berkata, “Baik, silakan duduk hingga kami
hidangkan makanan kepada kalian dan kami berikan apa yang kalian maksud.”
Kemudian Rasulullah SAW duduk. Lalu berkatalah Hay bin Akhtab kepada
teman-temannya, perkataan yang tak mungkin keluar dari mulut seorang mukmin
kecuali ia memang orang yang membenci orang kesayangan Allah, Rasulullah SAW.
“Tidakkah kalian melihat Muhammad sangat dekat,” bisik Hay bin Akhtab kepada
teman-temannya, “Lemparkanlah kepadanya batu dan bunuhlah dia sehingga kalian
tidak akan melihat kesulitan lagi selamanya.” Kemudian, mereka bergegas
mengambil batu besar untuk dilemparkan kepada beliau.
Namun, sepertinya mereka lupa atau
memang tidak tahu dengan siapa mereka berhadapan. Nabi yang terutus oleh Allah,
pemilik seluruh kerajaan langit dan bumi, untuk umat sedunia, sesempurna-sempurnanya ciptaan Allah, dan
manusia yang dijaga kesuciannya dari hitamnya dosa-dosa. Allah SWT menahan dari apa yang mereka lakukan
dan mengirimkan malaikat Jibril untuk memberitahu Rasulullah agar beliau segera
bangkit dari tempat duduknya. Lalu, turunlah ayat ke 11 dari surat Al Maidah,
“Wahai orang-orang yang beriman!
Ingatlah nikmat Allah (yang diberikan) kepadamu ketika suatu kaum bermaksud
hendak menyerangmu dengan tangannya lalu Allah menahan tangan mereka dari kamu.
Dan bertakwalah kepada Allah dan hanya kepada Allahlah hendaknya orang-orang
beriman itu bertawakal.”
Menjadi orang-orang kesayangan
merupakan dambaan bagi manusia. Anak kesayangan bagi orangtuanya, karyawan
kesayangan bagi bosnya, atau mahasiswa kesayangan bagi dosennya. Menjadi
kesayangan berarti ada sesuatu yang tak sama. Melebihkan usaha dan melangitkan
doa-doa.
Betapa menenangkan dan menentramkan
menjadi orang-orang kesayangan Allah, ketika hidup dan mati telah dijamin
oleh-Nya. Tiada keraguan dan ketakutan yang menyelimuti usia yang kian hari
kian menua. Betapa agung kehidupan di
dunia ketika diri sudah ridha kepada Allah sebagai Rabbnya dan Allah pun ridha
kepada mereka. Betapa nikmatnya hidup kian terasa ketika Islam menjadi Diin
hingga akhir hayatnya dan Baginda Muhammad menjadi Nabinya.
Menjadi kesayangan orang yang
disayangi oleh Allah juga tak kalah membahagiakan. Menjadi umat kesayangan
Baginda Rasulullah. Bagaimana tidak sayang sosok suri tauladan umat sepanjang
masa ini kepada umatnya. Saking sayangnya, ketika ajal menjemput bukan nama
Khadijah, Fatimah, atau Aisyah yang disebut, melainkan kita, “Ummati...
Ummati...Ummati...” Betapa sayangnya pribadi yang penuh cinta tersebut kepada
diri ini yang sama sekali tidak pernah hidup di masanya bahkan melihat wajahnya
pun kami tak sempat tapi kecintaan dan kasih sayangnya terus mengalir hingga
sekarang.
Malu rasanya ketika melihat diri
ini terjerembab dalam kelalaian. Malu rasanya ketika Rasulullah amat menyayangi
diri ini tapi diri ini justru mengabaikannya. Malu rasanya semisal diri ini
mendapat kesempatan bertemu dengan beliau, apa yang hendak diri ini sampaikan?
Mengucap shalawat cinta sebagi bukti rasa sayang dan rindu kepada beliau pun
jarang. Lalu, masih pantaskah diri ini disayang oleh pribadi yang disayang oleh
Yang Maha Penyayang?
Terhanyut dalam nukilan tulisan
gurunda Ustadz Salim A. Fillah berikut,
Apa kiranya perasaan Ash Shiddiq
saat Nabiï·º bersabda, “Andai kuambil
kekasih di antara insan; pasti kujadikan Abu Bakr sebagai Khalilku”?
Apa kiranya perasaan ‘Umar, saat
dia berpamit ‘umrah & Nabiï·º
bersabda padanya, “Jangan lupakan kami dalam doamu duhai saudara tersayang”?
Apa kiranya perasaan Thalhah saat
Nabiï·º
bersabda, “Siapa yang ingin melihat syahid yang masih berjalan di atas bumi,
lihatlah Thalhah”?
Apa kiranya perasaan Mu’adz ibn
Jabal, di saat RasuluLlahï·º
bersabda padanya, “Wahai Mu’adz, demi Allah, aku benar-benar mencintaimu”?
Apa kiranya perasaan para sahabat
semuanya, yang mereka berjumpa Nabiï·º
pada petang & pagi, berjalan mengiringi, beroleh senyum & doanya?
Terisak ketika diri kelak bertemu
dengan beliau. Tersedu ketika Rasulullah memberi salam dan bersabda,
“Kaliankah orangnya, yang telah
membuatku menangis karena rindu, yang telah membuat para sahabatku cemburu”?
“Kaliankah orangnya; yang beriman
kepada apa yang kubawa meski kita tak berjumpa; yang mengucap shalawat atas
namaku meski tak bertemu?”
Akankah kita sanggup menjawabnya?
“Ini kami Ya Rasulallah; yang
rindu tapi malu, membaca shalawat dengan lidah kelu; adakah kami layak jadi
ummatmu, & beroleh syafaa’atmu?”
“Ini kami Ya Rasulullah;yang rindu
tapi malu, akankah kau sambut kami di telagamu, masihkah kami layak menjadi
orang-orang kesayanganmu dan akan membersamaimu?”
Ya Rabbanaa. Selama perjalanan
kami menapaki bumi, semoga selama itu pula kami mampu menjalankan kewajiban-Mu,
menjauhi larangan-Mu dan mengabdi kepada-Mu.
Ya Rasulullah. Selama perjalanan
kami menapaki bumi, semoga selama itu pula kami mampu menyimak sabdamu,
meneladani akhlak muliamu, dan mengikuti sunnahmu.
Ridha-Mu atas kami Ya Rabb,
jadikan kami bersama mereka, himpunkan kami dengan mereka.
Bersabarlah dan Kuatkan Kesabaran
Gunungan
Masalah
Ada kala dimana kita merasa jenuh
dan bosan dengan apa yang kita lakukan setiap hari. Semua terasa menjemukan.
Ada waktu dimana kita merasa tidak bisa leluasa untuk melakukan apa yang
benar-benar kita inginkan. Pernah kita ingin dimana kita benar-benar bebas dari
belenggu pekerjaan yang makin mengikat erat. Ujian datang bertubi-tubi dan
masalah kian hari kian menggunung tinggi.
“Hidup
macam apa ini? Diuji tiada henti.”
Berhentilah mengumpat atau
mengutuk keadaan. Ujian datang bukan untuk melemahkanmu justru ia datang untuk
menguatkanmu. Ujian tidak selamanya karena Dia membencimu justru Dia sangat
mencintaimu. Jangan senang dulu jika hidupmu lempeng-lempeng saja, mengalir
lembut tanpa pernah ada ujian yang mendera. Jangan senang dulu, bisa jadi Allah
justru sedang mengujimu dan patut direnungi,
“Jangan-jangan
Allah tidak memperhatikanku dan Dia membiarkanku begitu saja.”
Hanyalah seonggok
daging yang berjalan kesana kemari tanpa diketahui pasti kemana ia pergi dan
kemana ia harus pulang kembali. Selama kita masih menjadi manusia, selama itu
pula ujian akan dikirimkan olehNya kepada kita. Allah telah menyebutkan dalam
surat Muhammad ayat 31,
“Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji
kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan
bersabar di antara kamu, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu.”
Ujian yang Allah berikan ragam
bentuknya, bahkan untuk sesuatu yang kau cintai.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya
kepada Kamilah kamu dikembalikan”(Al-Anbiyâ : 35).
Ada
Cinta Dibalik Duka
Ada cinta dibalik duka.
Tidak selamanya duka membawa nestapa tetapi ia bisa membawa cinta bersamanya.
Bersyukurlah bagi
kalian yang sedang diuji. Itu pertanda Allah masih mencintaimu. Apabila Allah
mencintai suatu kaum, maka Ia akan mengujinya. Bagaimana jika saat ini Allah
tengah mengujimu? Ku rasa kau tau jawabannya.
Bersabar dan
bersyukurlah ketika ujian berat menimpamu. Tidakkah ingat dengan sabda
Rasulullah bahwa sesungguhnya besarnya pahala tergantung dengan besarnya ujian
dan barang siapa yang ridha dengan ujian itu, maka ia akan mendapat
keridhaan-Nya. Siapa yang membencinya
maka ia akan mendapatkan kemurkaan-Nya.
MasyaALlah, indah
sekali bukan?
Jika sudah begini,
masih menggerutu jika Allah mengujimu?
Nikmati saja setiap
buliran keringat dan tetesan air mata. Mainkan saja peranmu sebaik mungkin.
Mainkan peranmu sebagai hamba yang bersabar ketika Allah mengujimu dan mainkan
peranmu sebagai hamba yang bersyukur ketika Allah mengangkatmu ke derajat yang
lebih tinggi.
Bersabar
dan Kuatkan Kesabaran
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah
kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah
kepada Allah, supaya kamu beruntung” (Ali Imran:200).
Bersabarlah
ketika kau diuji dengan maksiat. Ketika kau dihadapkan dengan hal-hal yang
membuat Dia tak lagi cinta atau ketika godaan-godaan syetan makin menggila
saja. Minta kepada Allah agar dikuatkan di titik terkuat kita dan minta
perlindungan dan penjagaan di titik terlemah kita.
Bersabarlah ketika diuji dengan musibah atau kesusahan, karena bisa jadi dari musibah itu syetan akan menggiring kita ke lembah kemaksiatan.
Bersabarlah ketika diuji dengan musibah atau kesusahan, karena bisa jadi dari musibah itu syetan akan menggiring kita ke lembah kemaksiatan.
Terkadang
manusia apabila ditimpa ujian berupa musibah, ia masih sanggup untuk bersabar.
Namun, ketika diuji berupa kenikmatan dan kesenangan, hanya sedikit yang lolos
dari ujian. Maka, kita juga meminta untuk senantiasa dikuatkan kesabarannya.
Dikuatkan kesabaran dalam taat kepadaNya, untuk tetap teguh menjalankan
perintahNya hingga Allah sendiri yang akan mengistirahatkan kita di
peristirahatan hakiki, di surgaNya nanti.
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar
dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang
sabar.” (Qs Al Baqarah : 153).
Itulah mengapa
sabar tiada berbatas, karena ketika aku bersabar, Allah bersamaku dan aku tidak
ingin membatasi kebersamaanku denganNya.
Langganan:
Postingan
(
Atom
)