Di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Erdogan, Umat
Islam Turki semakin mendapatkan hak-haknya untuk menjalankan ajaran agama.
Setelah mencabut larangan jilbab bagi guru dan dosen, Erdogan juga mencabut
larangan jilbab bagi pegawai negeri sipil (PNS) di lembaga-lembaga negara,
Senin (30/9).
Pencabutan larangan jilbab itu disambut gembira
oleh warga Turki, khususnya para muslimah.
Negeri yang didesain sekuler “tanpa jilbab” oleh
Mustafa Kemal Ataturk itu akhirnya membolehkan PNS untuk menutup auratnya
secara sempurna. Meskipun masih ada empat lembaga negara yang belum membolehkan
jilbab –yakni pengadilan, kejaksaan, kepolisian dan militer- keputusan Erdogan
dinilai merupakan kemajuan pesat bagi penerapan nilai-nilai Islam di negara
yang pernah menjadi ibukota khilafah Islam itu.
Berbeda dengan partai dan pemimpin Islam lain, Erdogan
bersama Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) mengarahkan Turki lebih islami
secara bertahap dan perlahan-lahan.
Erdogan agaknya berhasil belajar dari pengalaman
Erbakan bahwa memberlakukan Islam secara ‘terburu-buru’ akan langsung
berhadapan dengan militer dan masyarakat yang belum siap. Karenanya, sejak
menang pertama kali pada 2002 lalu, Erdogan dan AKP fokus pada pembenahan
ekonomi terlebih dulu tanpa memperlihatkan kebijakan islaminya.
Peningkatan pendapatan perkapita dari 3.000 dolar
AS menjadi 11.000 dolar AS membuat semakin banyak warga Turki yang menyukai
AKP. Terbukti, dua pemilu berikutnya AKP kembali menang dengan suara yang terus
meningkat. Bersamaan dengan keberhasilan ekonomi, AKP juga melakukan edukasi
islami kepada masyarakat.
Pendekatan kepada militer selama lebih dari sepuluh
tahun juga berpengaruh pada institusi penjaga nilai-nilai sekulerisme Turki itu
‘membiarkan’ ketika pemerintahan Erdogan mulai meng-gol-kan sejumlah
peraturan yang mengadopsi nilai-nilai Islam, termasuk soal jilbab dan
anti-miras.
http://news.fimadani.com