29 Nov 2014
PARADIGMA EMANSIPASI MUSLIMAH SESUAI HAKIKAT ISLAM
“Wanita adalah tiang negara, jika mereka baik, maka baiklah negara
itu dan jika mereka buruk (rusak moralnya) maka buruklah negara itu”
Paradigma Urgensi Peran Muslimah
Islam memiliki bahasan utama sekaligus prinsip
pokok yaitu mengenai persamaan antara manusia, baik antara lelaki dan perempuan
maupun antar bangsa, suku dan keturunan. Perbedaan yang digarisbawahi dan yang
kemudian meninggikan atau merendahkan seseorang hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya
kepada Allah swt.
“Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu
(terdiri) dari lelaki dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku agar kamu saling mengenal, sesungguhnya yang termulia di antara
kamu adalah yang paling bertakwa (Q.S. 49: 13).
Ajaran Islam pada
hakikatnya memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan
terhormat wanita. Maka dalam hal ini tentu saja peran dan partisipasi wanita
khususnya muslimah sangat berkaitan secara vital bagi perkembangan peradaban
suatu negara. Tak dapat dipungkiri bahwa muslimah merupakan madrasah bagi
putra-putranya kelak dimana mereka akan dititahkan untuk menjadi cikal bakal
suatu bangsa.
Namun, seiring pergeseran zaman dan pergantian
peradaban maka pemikiran umat manusia pun mulai ikut berubah. Di antaranya
terkait dengan tema utama yang berkaitan dengan muslimah yaitu mengenai
emansipasi. Kata “emansipasi”
populer dimaknai sebagai suatu usaha
untuk menuntut persamaan hak-hak kaum wanita terhadap hak-hak kaum pria di
segala bidang kehidupan.
Emansipasi
mengalami perkembangan sudut pandangnya. Dalam hal ini, menurut Islam
emansipasi dalam kehidupan manusia merupakan sesuatu yang wajar dan harus
terjadi, karena berkembangnya budaya dan pola kehidupan di alam semesta ini. Khusus
berkenaan dengan negara-negara Islam ini, kaum feminisme menganggap bahwa Islam
dan negara-negara tersebut telah membelenggu hak-hak kaum wanitanya. Berikut
ini adalah alasan-alasan yang dikemukakan oleh Women’s Lib sebagai dasar tuntutannya sebagaimana
dikemukakan oleh Ibnu Ahmad Dahri (1992):
1. Masalah hakikat wanita. Bahwa perbedaan
antara laki-laki dan wanita secara biologis telah dibesar-besarkan untuk
menindas kaum wanita dan mereka menuntut untuk diadakan penyelidikan secara ilmiah
sampai ditemukannya perbedaan laki-laki dan perempuan secara ilmiah.
2. Masalah seksualitas. Bahwa kaum wanita
mempunyai kebutuhan seksual sendiri yang dapat dipenuhi tanpa kehadiran
laki-laki. Mereka mengharapkan bahwa hubungan seksual tidak dipergunakan oleh
laki-laki untuk mendominasi wanita.
3. Masalah keluarga. Bahwa kepentingan
keluarga tidak harus didahulukan dari kepentingan-kepentingan kehendak
individualnya.
4. Masalah anak-anak. Bahwa para suami
berkewajiban secara bergiliran mengasuh anak (ikut berperan ganda). Iklim yang
harus diciptakan adalah model kemanusiaan untuk berkompetisi.
5. Masalah pekerjaan. Bahwa pekerjaan harus
tersedia untuk pria dan wanita sesuai dengan kemampuan masing-masing. Mereka
ingin menghapus pendapat bahwa wanita bekerja hanya sebagai sekretaris,
pramugari, asisten peneliti dan pekerjaan lain yang menempatkan wanita hanya
sebagai faktor substitusi saja.
Tentu saja dalam hal di atas, emansipasi
yang kita harapkan bukan pada posisi setara dalam hal menuntut hak dan
kewajibannya melainkan adil yakni sesuai porsi yang seimbang dalam memegang
peranan penting fungsi dirinya. Hal inilah yang sebenarnya perlu diluruskan
agar tidak terjadi penyimpangan persepsi tentang makna emansipasi itu sendiri
yang berkaitan dengan ajaran Islam.
Dalam hal ini, kontribusi muslimah di dalam gerakan
dakwah menjadi sesuatu yang tidak dapat dinafikan lagi khususnya untuk
membangun peradaban yang humanis. Contoh ini telah dibuktikan oleh para
muslimah terdahulu seperti Khadijah binti Khuwailid sebagai perempuan pertama
yang menyambut seruan Iman dan Islam, Aisyah binti Abu Bakar sebagai salah satu
gudang ilmu, Ummu Ammarah Nusaibah binti Ka’ab yang mati-matian di medan Uhud
dan beberapa kali terlibat dalam peperangan khususnya bagian logistik dan medis
, Sumaiyah binti khubath, orang pertama yang mendapat gelar syahidah seorang
budak perempuan dari Mekkah yang dinikahi oleh seorang Yasir bin Amir bin
Malik. Sumayyah menjadi syahidah ketika ia menentang umpatan dan sumpah serapah
Abu Jahal yang mengolok-olok Rasulullah saw, sejarah diatas adalah bukti
konkret bahwa peran muslimah memiliki cakupan jauh lebih luas dari hanya
sekadar beroperasi di dalam rumahnya.
Namun legalitas tersebut bukan sebagai dalih atas
ideologi baru seputar dunia wanita, jika kita mereview kembali muslimah pada era kekinian, banyak dari mereka yang terpengaruh
oleh corak globalisasi yang tidak terfilter dengan baik, corak ini terlihat
dari munculnya ide-ide emansipasi dan feminisme negatif yang demikian santer di
dunia bagian barat, erat kaitannya dengan Women Liberation movement (gerakan pembebasan wanita).
Al-Quran mengakui watak obyektif dan universalitas keadilan yang
disamakan dengan perbuatan-perbuatan baik (kebajikan-kebajikan moral), yang
mengatasi masyarakat-masyrakat agama yang berlainan dan memperingatkan umat
manusia untuk “tampil dengan perbuatan-perbuatan baik”:
Al Qur’an surat Al Maidah ayat 48 menjelaskan,“Untuk tiap-tiap
umat di antara kamu (umat religius) Kami berikan aturan dan jalan (tingkah
laku). Apabila Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(berdasarkan pada aturan dan jalan itu), tetapi, (ia tidak melakukan demikian).
Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu. Oleh karena itu,
berlomba-lombalah (yaitu, bersaing satu sama lain) dalam berbuat baik. Karena
Allah-lah kamu semua akan kembali, lalu Ia akan memberitahukan kepadamu
(kebenaran) mengenai apa yang kamu perselisihkan itu.”
Seperti yang telah dijelaskan di awal bahwa keadilan yang dimaksud
disini adalah sesuai porsinya. Dalam hal ini, keadilan yang diimplementasikan
sesuai dengan keadaan dan kondisi yang teratur akan mempengaruhi keharmonisan
dalam kehidupan yang akan berdampak positif bagi peradaban. Oleh karena itu,
pelaksanaan prinsip dan wujud nyata keadilan sangat perlu untuk diterapkan
secara nyata agar dapat meningkatkan kesuksesan dalam pembangunan peradaban
yang harmonis.
Keadilan yang dibahas di atas juga berkaitan dengan peran serta
muslimah melalui perspektif Islam yang menganjurkan posisi yang sesuai dan
tepat bukan setara atau dalam hal ini sama dengan laki-laki. Adanya kesadaran
bagi seluruh pihak khususnya muslimah dalam menciptakan pola pikir yang tepat
dalam memahami hakikat emansipasi itu sendiri harus diluruskan sesuai ajaran Islam.
Karena itu, seharusnya pemahaman dan pemikiran porsi dan prinsip keadilan harus dtekankan
dibandingkan kesetaraan.(Siti Ramdhani/KP/14)
Langganan:
Postingan
(
Atom
)