|
Foto: Dina Fitria Jabrish
Dari: http://kfk.kompas.com/kfk/view/106605 |
Saya
sendiri adalah salah satu dari sekian banyak
orang yang memiliki hobi mendaki gunung. Tapi saya
tidak terlalu ambisi untuk menaklukan seluruh gunung di Indonesia apalagi di
dunia karena hal ini bukan tujuan hidup saya, ya ini hanya sekadar hobi.
Untuk tetap melestarikan alam, untuk menaklukan ego atau kemanjaan diri
sendiri, dan untuk selalu mensyukuri keagungan Tuhan akan salah satu
ciptaan-Nya. Sebuah tempat tertinggi kali ini bernama “Hargo Dumilah”. Puncak
tertinggi Gunung Lawu, terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan
ketinggian 3.265 mdpl akan kami taklukan.
7 Agustus 2014, 13 orang berangkat
dari Magelang menuju Yogyakarta pukul 04.00 pagi dengan mengendarai sepeda
motor menuju stasiun Lempuyangan untuk mengejar kereta Prameks pukul 05.30 yang
sesuai tertera di jadwal. Namun, lagi-lagi
indahnya Indonesia akan sebuah keterlambatan menghiasi
keberangkatan kami pagi itu, kereta datang terlambat. Sesampainya di
Solo kami menuju terminal Tirtonadi dan masih menunggu 3 orang teman kami yang
berangkat dari Solo. Akhirnya pukul 08.30 kami serombongan berjumlah 16 orang,
berangkat dari terminal Tirtonadi menuju terminal Tawangmangu menggunakan bus
yang terkenal dengan ugal-ugalannya walaupun
jalan menuju terminal Tawangmangu berkelok-kelok. Yang seharusnya kami dapat
menikmati perjalanan di kanan kiri jalan, malah dibuat mabuk oleh pak sopir.
Kami
tiba di terminal Tawangmangu sekitar pukul 10.30 dan kami pergunakan melepas
lelah sebentar serta sarapan. Setelah saya selesai sarapan sebagai orang yang
bertanggung jawab memegang uang kelompok segera melakukan negosiasi dengan
salah satu sopir mobil Colt yang akan membawa kami ke basecamp Cemoro Sewu
Magetan. Setelah selesai melakukan kesepakatan akhirnya kami berangkat dengan
menggunakan 1 mobil Colt diisi 16 orang, betapa bahagianya kami. Setelah pak
sopir dan tentu mobilnya berjuang mengangkut kami dengan selamat sampai
basecamp Cemoro Sewu saya melakukan kesepakatan lainnya dengan pak sopir untuk
bersedia mengantar kami sekembalinya dari pendakian hingga stasiun Balapan.
Setelah selesai negosiasi kami segera cek kesiapan dan kelengkapan barang
bawaan karena jam telah menunjukkan pukul 12.00 siang.
Diawali dengan pengarahan oleh ketua
rombongan dan saya sendiri serta diiringi do’a dari seluruh anggota kami
berangkat dari basecamp pukul 13.00 Saya dipercaya oleh ketua rombongan untuk
menjadi “leader” dalam perjalanan karena carrier
yang saya gunakan paling berat di antara anggota lainnya, yaitu sekitar 80
liter. Tapi barang bawaan saya itu tak terasa berat
bagi saya karena saya telah terbiasa dengan pekerjaan yang menggunakan fisik.
Jalur pendakian Cemoro Sewu terkenal
lebih cepat sampai puncak dibandingkan dengan jalur pendakian satunya, yaitu
Cemoro Kandang. Hal ini dikarenakan jalan pendakian Cemoro Kandang lebih landai
daripada Cemoro Sewu yang lebih terjal. Karena kami melakukan pendakian dengan
rombongan besar, kami sendiri sulit mengorganisasikannya termasuk ketua
rombongan yang bertugas sebagai “sweeper”. Di perjalanan kami terlalu sering
melakukan istirahat karena lelah. Udara pegunungan yang mulai terasa dingin
menusuk pori-pori kulit membuat kami segera mengenakan jaket dan celana tebal.
Setibanya
di pos 3 jam menunjukkan pukul 18.00 dan salah satu dari anggota tidak dapat
melanjutkan perjalanan. Saya sendiri mengalami dilema untuk melanjutkan
perjalanan atau tetap di pos 3 untuk mendirikan tenda, dan pada akhirnya saya putuskan
untuk tetap tinggal. Saya pun merekomendasikan pada ketua rombongan untuk
seluruh anggota berkemah di pos 3, namun berapa anggota tetap ingin ke pos 5
malam itu juga dan membuat ketua rombongan memutuskan tetap berangkat saat itu
juga. Saya tetap pada keputusan sebelumnya karena saya merasa bertanggung jawab
terhadap tim ini dan karena saya juga yang membawa 1 dari 3 tenda yang dibawa
oleh rombongan.
10 orang melanjutkan perjalanan malam itu juga menuju pos 5, 6 orang tinggal di
pos 3 dan segera saya pimpin untuk mendirikan tenda. Udara di pos 3 mulai
bertambah dingin dan kami segera memasak bahan makanan karena lapar yang tidak
dapat tertahankan lagi. Malam itu juga, diantara menyesal karena tidak dapat
melanjutkan perjalanan tapi lebih kecewa lagi karena tim kami tidak kompak
bahwa tim kami benar-benar terpisah, saya menumpahkannya dengan aliran air mata
yang seharusnya tak perlu. Selesai makan kami mengevaluasi dan segera melakukan
tindak lanjut, salah satu anggota yang tidak kuat tersebut tetap tidak mampu
kalau besok pagi menuju puncak. Pada akhirnya saya dan 2 orang lainnya tidak ke
puncak paginya, sedangkan 3 orang pukul 02.00 berangkat menyusul rombongan
besar dan berhasil sampai puncak.
Rombongan
besar turun sampai pos 3 pukul 09.00 pagi dan saya melihat wajah ketua
rombongan penuh penyesalan, tapi saya meyakinkan bahwa dengan gelagat saya
sendiri untuk tidak kecewa dan segera membaur bersama kebahagiaan rombongan.
Kami semua melanjutkan perjalanan turun hingga tiba di basecamp Cemoro Sewu
pukul 11.00 dan segera melanjutkan perjalanan menuju Kota Solo bersama pak
sopir yang telah menunggu kami di basecamp. Sesampainya di stasiun Balapan
pukul 15.30 kami berpisah dengan 3 orang yang dari Solo. Kami segera memesan
tiket untuk ke Jogja dan melanjutkan perjalanan pulang ke Magelang. Sesampainya
di Magelang pukul 21.00 dan bongkar muat barang di rumah saya. Selesai jam
22.00 dan rombongan kembali ke rumah masing-masing dengan ceritanya
masing-masing, termasuk saya.
Pada
awalnya saya sangat optimis dengan rombongan ini, karena persahabatan kami
dibangun sejak kami duduk di bangku SMP. Tetapi saya akhirnya menyimpulkan
bahwa persahabatan yang sesungguhnya harus mampu mengorbankan keegoisan
masing-masing individu untuk melebur dalam tim atau persahabatan yang telah
terbentuk baik secara instan atau berkala. Lebih dari itu bahwa sejatinya
pengorbanan itu bukan berdampak pada setiap anggota dari tim, namun
pertanggungjawaban kita kelak saat melakukan perjumpaan dengan Tuhan.
Pengorbananku saat itu untuk tidak sampai puncak tidak akan sia-sia karena saya
tahu itu adalah bentuk pertanggungjawaban sebagai makhluk Tuhan yang tak mampu
hidup sendiri.
27
September 2014. Saya, ketua rombongan, satu anggota yang kala itu sampai
puncak, satu anggota yang kala itu saya temani di pos 3, dan dua orang pendaki
pemula pukul 09.45 telah menyentuh tanah tertinggi di Gunung Lawu. Kami tiba di
puncak tertinggi gunung Lawu “Hargo Dumilah” salam dari kami untuk seluruh
pendaki dimanapun kalian berada. Di gunung ini, di ketinggian kaki berpijak, di
sanalah tempat yang paling damai dan abadi. Dekat dengan Tuhan dan keyakinan
diri yang kuat. Saat kaki menginjak ketinggian, tanpa sadar kita hanya bisa
berucap bahwa alam memang telah menjawab kebesaran Tuhan. Di sanalah pembuktian
diri dari suatu pribadi yang egois dan manja menjadi seorang yang mandiri dan
percaya pada kemampuan diri sendiri. Setiap pengorbanan yang kalian lakukan
tidak akan sia-sia selama itu membawa manfaat dan untuk kepentingan umat.
Masa
lalu memang tidak dapat kita rubah di masa sekarang atau masa mendatang. Akan
tetapi, masa lalu dapat kita jadikan pembelajaran untuk melangkah ke masa depan
yang lebih baik, untuk membentuk karakter diri yang lebih baik. Kata pepatah,
setiap kejadian pasti ada hikmahnya. Selamat datang di duniaku!
Artikel: Harry Sumantri Hartasa
Unedited.