OPEN RECRUITMENT BPPI FEB UNS 2017

Ayo ikut bersama Kami. Menjadi Mahasiswa Muslim yang Proaktif dan Inspiratif. BPPI 2017

RAMADHAN 1438 H

Ramadhan Awesome! Raih Ramadhan dengan Penuh Berkah, Mencari Taqwa. Ramadhan di Kampus.Coming Soon!!

One Step 2017

Jalan-Jalan, Penuh Pembelajaran, Home Stay, Games, Fun, Keakraban dan Islami. Coming Soon yak!

Ukhuwah Islamiyah

Karena ikatan ukhuwah begitu berharga.

Islam pasti akan menang!

Jangan bertanya,"Kapan Islam kembali berjaya?", karena cepat atau lambat Islam pasti menang. Tapi bertanyalah,"Apa peranmu dalam menyongsong kemenangannya?"

6 Des 2013

Kristen yang Shalih dan Gereja At Taqwa. Penggunaan Istilah Keagamaan [2]



Tahun 1999, muncul kelompok Kristen yang menamakan dirinya kelompok ’Iman Taqwa Kepada Shirathal Mustaqim’ (ITKSM) yang melakukan kampanye agar kaum Kristen menghentikan penggunaan lafaz Allah. 



Kelompok ini kemudian mengganti nama menjadi Bet Yesua Hamasiah (BYH). Kelompok ini juga menerbitkan Bibel sendiri dengan nama Kitab Suci Torat dan Injil yang pada halaman dalamnya ditulis Kitab Suci 2000.

Kitab Bibel versi BYH ini mengganti kata "Allah" menjadi "Eloim", kata "TUHAN" diganti menjadi "YAHWE"; kata "Yesus" diganti dengan "Yesua", dan "Yesus Kristus" diubah menjadi "Yesua Hamasiah". Berikutnya, muncul lagi kelompok Kristen yang menamakan dirinya "Jaringan Gereja-gereja Pengagung Nama Yahweh" yang menerbitkan Bibel sendiri dengan nama "Kitab Suci Umat Perjanjian Tuhan ini".
Kelompok ini menegaskan, "Akhirnya nama "Allah" tidak dapat dipertahankan lagi." Problem penyebutan nama Tuhan atau nama nabi seperti dalam agama Kristen tersebut, tidak dijumpai dalam Islam. Sebab, Islam memiliki Al-Quran yang teksnya, cara membacanya, dan maknanya terjaga sepanjang zaman. Di sinilah terjadi perbedaan dalam soal penggunaan istilah-istilah keagamaan antara Islam dan Kristen. Para ulama Islam selama berabad-abad dikenal memiliki tradisi yang kuat dalam penggunaan istilah-istilah keagamaan. Banyak ulama yang secara khusus menulis kamus dan kitab tentang definisi-definisi (ta’rifat).

Sebagian kalangan Kristen bahkan sengaja menggunakan istilah-istilah yang khas dalam Islam. Sebagai contoh adalah penerbitan sejumlah buku dan brosur Kristen yang menggunakan judul-judul Islam. Misalnya, buku-buku karangan Pendeta R. Mohammad Nurdin yang berjudul: ”Kebenaran Yang Benar (Asshodiqul Mashduq)”, ”Keselamatan  Didalam Islam”, ”Selamat Natal Menurut Al-Qur’an”, ”Rahasia Allah Yang Paling Besar”, ”Ya Allah Ya Ruhul Qudus, Aku Selamat Dunia dan Akhirat”. Juga buku ”Upacara Ibadah Haji” karya H. Amos, dan buku-buku karya Pendeta A. Poernama Winangun yang berjudul seperti ”Riwayat Singkat Dan Pusaka Peninggalan Nabi Muhammad”, dan buku ”Ayat-ayat Al-Qur’an Yang Menyelamatkan”. 

Dalam buku ”Riwayat Singkat Dan Pusaka Peninggalan Nabi Muhammad”, disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan hadits Nabi Muhammad saw, bahwa beliau meninggalkan dua perkara yang harus dipegang teguh oleh umat Islam, adalah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, bukan Al-Quran dan Sunnah. ”Ada juga yang menggunakan brosur-brosur yang menggunakan nama-nama Islam, seperti Brosur: Membina Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama, Yang dikeluarkan oleh Dakwah Ukhuwah (P.O. BOX 1272/JAT Jakarta 13012). Ada juga sebuah buku Kristen berjudul ”al-Haqiqah al-Makhfiyah Dakhilul Quranil Karim” (Kebenaran Tersembunyi dalam Al-Quran al-Karim). Buku ini berisi kumpulan ayat-ayat Al-Quran yang dihimpun dan disusun oleh Pendeta Markus Agung.

Dalam masalah penggunaan istilah keagamaan ini, kiranya lembaga-lembaga keagamaan perlu bertemu untuk merumuskan kode etik dalam penggunaan istilah. Yang menjadi masalah memang lebih banyak bagi umat Islam, sebab penggunaan istilah dalam Islam sangat ketat. Idealnya, setiap pemeluk agama memiliki displin dalam penggunaan istilah agamanya masing-masing dan tidak mencampur aduk penggunaan istilah masing-masing agama.

Tetapi, tantangan yang lebih besar bagi umat Islam sekarang dalam soal penggunaan istilah justru datang dari kalangan umat Islam sendiri, khususnya yang sudah terasuki oleh pemikiran Barat sekular-liberal. Mereka-mereka inilah yang sekarang rajin memasukkan istilah-istilah dari tradisi Yahudi dan Kristen ke dalam khazanah Islam kontemporer, seperti penggunaan istilah Islam Liberal, Islam fundamentalis, Islam skripturalis, Islam pluralis, Islam inklusif, Islam Ortodoks, dan sebagainya.

Rektor Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, misalnya, menulis satu naskah pengantar buku berjudul ”Muhammadiyah: Islam Protestan.” Buku itu sendiri oleh penulisnya diberi judul: ”Muhammadiyah Pintu Gerbang Protestanisme Islam”.

Dalam buku ini penulisnya menggunakan istilah yang campur aduk antara istilah Islam dan Kristen yang sebenarnya memiliki akar sejarah dan konsep yang berbeda. Misalnya, ditulis dalam buku ini: “Etika protestan puritan (protestan calvinis) atau reformasi protestan sepenuhnya bersandar kepada pembacaan perjanjian lama dan perjanjian baru sebagaimana Muslim puritan Muhammadiyah (Muhammadiyah calvinis) atau reformasi Muhammadiyah bersandar pada sumber asli Qur’an dan Sunnah. Ia (Protestan Dahlanis) sebagai pedagang-pedagang yang jujur dalam bertransaksi… Ia dikenal sebagai Muslim reformis-puritan yang asketis…

Seorang pejabat Belanda yang bertugas di Indonesia waktu itu 1913 menilai bahwa Ahmad Dahlan adalah sebagai “prototipe warga Indonesia yang memiliki etika calvinis: tekun, militan, dan cerdas.” (hal. Vi-vii).
Masuknya istilah-istilah asing yang mengacaukan konsep-konsep pokok dalam pandangan hidup Islam disebut oleh Prof. Al-Attas sebagai ”de-Islamization of language”.

Masuknya istilah-istilah dan konsep-konsep asing yang merusak ’Islamic worldview’ inilah, menurut al-Attas, yang menyebabkan kekacauan dalam pemikiran kaum Muslim. Dan saat ini, tantangan ’de-Islamisasi bahasa’ yang dihadapi oleh umat Islam, jauh lebih berat dan lebih kompleks daripada yang dihadapi oleh umat Islam di zaman Imam Ghazali, ketika beliau menerbitkan bukunya, Tahafut al-Falasifah. Dalam kerusakan istilah dan konsep Islam ini, al-Attas menyebut contoh masuknya penggunaan metode hermeneutika untuk menafsirkan Al-Quran, menggantikan Ilmu Tafsir, yang di Indonesia telah menjadi kurikulum wajib di berbagai Perguruan Tinggi Islam.

Semoga kita termasuk yang berhati-hati dan selamat dalam menggunakan istilah-istilah keagamaan kita, sehingga kita tidak terperosok dalam kekeliruan berpikir, apalagi kemudian membanggakan dan aktif menyebarkan kekeliruan, sadar atau tidak! Amin.

Ditulis oleh Dr Adian Husaini
Sumber:  http://mustanir.net