26 Nov 2016

Orang - Orang Kesayangan


Diriwayatkan oleh Ibnu Jauzi dari Ikrimah dan Yazid bin Abi Ziyad bahwasannya Rasulullah SAW, keluar bersama Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, dan Abdurrahman bin Auf mendatangi rumah Ka’ab bin Asyraf dan seorang Yahudi dari bani Nadhir untuk menagih pembayaran diat (denda) atas mereka. Tuan rumah mempersilahkan rombongan Rasulullah layaknya seorang tamu agung. Mereka berkata, “Baik, silakan duduk hingga kami hidangkan makanan kepada kalian dan kami berikan apa yang kalian maksud.” Kemudian Rasulullah SAW duduk. Lalu berkatalah Hay bin Akhtab kepada teman-temannya, perkataan yang tak mungkin keluar dari mulut seorang mukmin kecuali ia memang orang yang membenci orang kesayangan Allah, Rasulullah SAW. “Tidakkah kalian melihat Muhammad sangat dekat,” bisik Hay bin Akhtab kepada teman-temannya, “Lemparkanlah kepadanya batu dan bunuhlah dia sehingga kalian tidak akan melihat kesulitan lagi selamanya.” Kemudian, mereka bergegas mengambil batu besar untuk dilemparkan kepada beliau.
Namun, sepertinya mereka lupa atau memang tidak tahu dengan siapa mereka berhadapan. Nabi yang terutus oleh Allah, pemilik seluruh kerajaan langit dan bumi, untuk umat sedunia,  sesempurna-sempurnanya ciptaan Allah, dan manusia yang dijaga kesuciannya dari hitamnya dosa-dosa.  Allah SWT menahan dari apa yang mereka lakukan dan mengirimkan malaikat Jibril untuk memberitahu Rasulullah agar beliau segera bangkit dari tempat duduknya. Lalu, turunlah ayat ke 11 dari surat Al Maidah,
“Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah nikmat Allah (yang diberikan) kepadamu ketika suatu kaum bermaksud hendak menyerangmu dengan tangannya lalu Allah menahan tangan mereka dari kamu. Dan bertakwalah kepada Allah dan hanya kepada Allahlah hendaknya orang-orang beriman itu bertawakal.”
Menjadi orang-orang kesayangan merupakan dambaan bagi manusia. Anak kesayangan bagi orangtuanya, karyawan kesayangan bagi bosnya, atau mahasiswa kesayangan bagi dosennya. Menjadi kesayangan berarti ada sesuatu yang tak sama. Melebihkan usaha dan melangitkan doa-doa.  
Betapa menenangkan dan menentramkan menjadi orang-orang kesayangan Allah, ketika hidup dan mati telah dijamin oleh-Nya. Tiada keraguan dan ketakutan yang menyelimuti usia yang kian hari kian menua.  Betapa agung kehidupan di dunia ketika diri sudah ridha kepada Allah sebagai Rabbnya dan Allah pun ridha kepada mereka. Betapa nikmatnya hidup kian terasa ketika Islam menjadi Diin hingga akhir hayatnya dan Baginda Muhammad menjadi Nabinya.
Menjadi kesayangan orang yang disayangi oleh Allah juga tak kalah membahagiakan. Menjadi umat kesayangan Baginda Rasulullah. Bagaimana tidak sayang sosok suri tauladan umat sepanjang masa ini kepada umatnya. Saking sayangnya, ketika ajal menjemput bukan nama Khadijah, Fatimah, atau Aisyah yang disebut, melainkan kita, “Ummati... Ummati...Ummati...” Betapa sayangnya pribadi yang penuh cinta tersebut kepada diri ini yang sama sekali tidak pernah hidup di masanya bahkan melihat wajahnya pun kami tak sempat tapi kecintaan dan kasih sayangnya terus mengalir hingga sekarang.
Malu rasanya ketika melihat diri ini terjerembab dalam kelalaian. Malu rasanya ketika Rasulullah amat menyayangi diri ini tapi diri ini justru mengabaikannya. Malu rasanya semisal diri ini mendapat kesempatan bertemu dengan beliau, apa yang hendak diri ini sampaikan? Mengucap shalawat cinta sebagi bukti rasa sayang dan rindu kepada beliau pun jarang. Lalu, masih pantaskah diri ini disayang oleh pribadi yang disayang oleh Yang Maha Penyayang?
Terhanyut dalam nukilan tulisan gurunda Ustadz Salim A. Fillah berikut,
Apa kiranya perasaan Ash Shiddiq saat Nabiï·º bersabda, “Andai kuambil kekasih di antara insan; pasti kujadikan Abu Bakr sebagai Khalilku”?
Apa kiranya perasaan ‘Umar, saat dia berpamit ‘umrah & Nabiï·º bersabda padanya, “Jangan lupakan kami dalam doamu duhai saudara tersayang”?
Apa kiranya perasaan Thalhah saat Nabiï·º bersabda, “Siapa yang ingin melihat syahid yang masih berjalan di atas bumi, lihatlah Thalhah”?
Apa kiranya perasaan Mu’adz ibn Jabal, di saat RasuluLlahï·º bersabda padanya, “Wahai Mu’adz, demi Allah, aku benar-benar mencintaimu”?
Apa kiranya perasaan para sahabat semuanya, yang mereka berjumpa Nabiï·º pada petang & pagi, berjalan mengiringi, beroleh senyum & doanya?
Terisak ketika diri kelak bertemu dengan beliau. Tersedu ketika Rasulullah memberi salam dan bersabda,
“Kaliankah orangnya, yang telah membuatku menangis karena rindu, yang telah membuat para sahabatku cemburu”? 
“Kaliankah orangnya; yang beriman kepada apa yang kubawa meski kita tak berjumpa; yang mengucap shalawat atas namaku meski tak bertemu?”
Akankah kita sanggup menjawabnya?
“Ini kami Ya Rasulallah; yang rindu tapi malu, membaca shalawat dengan lidah kelu; adakah kami layak jadi ummatmu, & beroleh syafaa’atmu?”
“Ini kami Ya Rasulullah;yang rindu tapi malu, akankah kau sambut kami di telagamu, masihkah kami layak menjadi orang-orang kesayanganmu dan akan membersamaimu?”
Ya Rabbanaa. Selama perjalanan kami menapaki bumi, semoga selama itu pula kami mampu menjalankan kewajiban-Mu, menjauhi larangan-Mu dan mengabdi kepada-Mu.
Ya Rasulullah. Selama perjalanan kami menapaki bumi, semoga selama itu pula kami mampu menyimak sabdamu, meneladani akhlak muliamu, dan mengikuti sunnahmu.
Ridha-Mu atas kami Ya Rabb, jadikan kami bersama mereka, himpunkan kami dengan mereka.


0 comments :

Posting Komentar