Diriwayatkan oleh Ibnu Jauzi dari
Ikrimah dan Yazid bin Abi Ziyad bahwasannya Rasulullah SAW, keluar bersama Abu
Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, dan Abdurrahman bin Auf mendatangi rumah
Ka’ab bin Asyraf dan seorang Yahudi dari bani Nadhir untuk menagih pembayaran
diat (denda) atas mereka. Tuan rumah mempersilahkan rombongan Rasulullah
layaknya seorang tamu agung. Mereka berkata, “Baik, silakan duduk hingga kami
hidangkan makanan kepada kalian dan kami berikan apa yang kalian maksud.”
Kemudian Rasulullah SAW duduk. Lalu berkatalah Hay bin Akhtab kepada
teman-temannya, perkataan yang tak mungkin keluar dari mulut seorang mukmin
kecuali ia memang orang yang membenci orang kesayangan Allah, Rasulullah SAW.
“Tidakkah kalian melihat Muhammad sangat dekat,” bisik Hay bin Akhtab kepada
teman-temannya, “Lemparkanlah kepadanya batu dan bunuhlah dia sehingga kalian
tidak akan melihat kesulitan lagi selamanya.” Kemudian, mereka bergegas
mengambil batu besar untuk dilemparkan kepada beliau.
Namun, sepertinya mereka lupa atau
memang tidak tahu dengan siapa mereka berhadapan. Nabi yang terutus oleh Allah,
pemilik seluruh kerajaan langit dan bumi, untuk umat sedunia, sesempurna-sempurnanya ciptaan Allah, dan
manusia yang dijaga kesuciannya dari hitamnya dosa-dosa. Allah SWT menahan dari apa yang mereka lakukan
dan mengirimkan malaikat Jibril untuk memberitahu Rasulullah agar beliau segera
bangkit dari tempat duduknya. Lalu, turunlah ayat ke 11 dari surat Al Maidah,
“Wahai orang-orang yang beriman!
Ingatlah nikmat Allah (yang diberikan) kepadamu ketika suatu kaum bermaksud
hendak menyerangmu dengan tangannya lalu Allah menahan tangan mereka dari kamu.
Dan bertakwalah kepada Allah dan hanya kepada Allahlah hendaknya orang-orang
beriman itu bertawakal.”
Menjadi orang-orang kesayangan
merupakan dambaan bagi manusia. Anak kesayangan bagi orangtuanya, karyawan
kesayangan bagi bosnya, atau mahasiswa kesayangan bagi dosennya. Menjadi
kesayangan berarti ada sesuatu yang tak sama. Melebihkan usaha dan melangitkan
doa-doa.
Betapa menenangkan dan menentramkan
menjadi orang-orang kesayangan Allah, ketika hidup dan mati telah dijamin
oleh-Nya. Tiada keraguan dan ketakutan yang menyelimuti usia yang kian hari
kian menua. Betapa agung kehidupan di
dunia ketika diri sudah ridha kepada Allah sebagai Rabbnya dan Allah pun ridha
kepada mereka. Betapa nikmatnya hidup kian terasa ketika Islam menjadi Diin
hingga akhir hayatnya dan Baginda Muhammad menjadi Nabinya.
Menjadi kesayangan orang yang
disayangi oleh Allah juga tak kalah membahagiakan. Menjadi umat kesayangan
Baginda Rasulullah. Bagaimana tidak sayang sosok suri tauladan umat sepanjang
masa ini kepada umatnya. Saking sayangnya, ketika ajal menjemput bukan nama
Khadijah, Fatimah, atau Aisyah yang disebut, melainkan kita, “Ummati...
Ummati...Ummati...” Betapa sayangnya pribadi yang penuh cinta tersebut kepada
diri ini yang sama sekali tidak pernah hidup di masanya bahkan melihat wajahnya
pun kami tak sempat tapi kecintaan dan kasih sayangnya terus mengalir hingga
sekarang.
Malu rasanya ketika melihat diri
ini terjerembab dalam kelalaian. Malu rasanya ketika Rasulullah amat menyayangi
diri ini tapi diri ini justru mengabaikannya. Malu rasanya semisal diri ini
mendapat kesempatan bertemu dengan beliau, apa yang hendak diri ini sampaikan?
Mengucap shalawat cinta sebagi bukti rasa sayang dan rindu kepada beliau pun
jarang. Lalu, masih pantaskah diri ini disayang oleh pribadi yang disayang oleh
Yang Maha Penyayang?
Terhanyut dalam nukilan tulisan
gurunda Ustadz Salim A. Fillah berikut,
Apa kiranya perasaan Ash Shiddiq
saat Nabiï·º bersabda, “Andai kuambil
kekasih di antara insan; pasti kujadikan Abu Bakr sebagai Khalilku”?
Apa kiranya perasaan ‘Umar, saat
dia berpamit ‘umrah & Nabiï·º
bersabda padanya, “Jangan lupakan kami dalam doamu duhai saudara tersayang”?
Apa kiranya perasaan Thalhah saat
Nabiï·º
bersabda, “Siapa yang ingin melihat syahid yang masih berjalan di atas bumi,
lihatlah Thalhah”?
Apa kiranya perasaan Mu’adz ibn
Jabal, di saat RasuluLlahï·º
bersabda padanya, “Wahai Mu’adz, demi Allah, aku benar-benar mencintaimu”?
Apa kiranya perasaan para sahabat
semuanya, yang mereka berjumpa Nabiï·º
pada petang & pagi, berjalan mengiringi, beroleh senyum & doanya?
Terisak ketika diri kelak bertemu
dengan beliau. Tersedu ketika Rasulullah memberi salam dan bersabda,
“Kaliankah orangnya, yang telah
membuatku menangis karena rindu, yang telah membuat para sahabatku cemburu”?
“Kaliankah orangnya; yang beriman
kepada apa yang kubawa meski kita tak berjumpa; yang mengucap shalawat atas
namaku meski tak bertemu?”
Akankah kita sanggup menjawabnya?
“Ini kami Ya Rasulallah; yang
rindu tapi malu, membaca shalawat dengan lidah kelu; adakah kami layak jadi
ummatmu, & beroleh syafaa’atmu?”
“Ini kami Ya Rasulullah;yang rindu
tapi malu, akankah kau sambut kami di telagamu, masihkah kami layak menjadi
orang-orang kesayanganmu dan akan membersamaimu?”
Ya Rabbanaa. Selama perjalanan
kami menapaki bumi, semoga selama itu pula kami mampu menjalankan kewajiban-Mu,
menjauhi larangan-Mu dan mengabdi kepada-Mu.
Ya Rasulullah. Selama perjalanan
kami menapaki bumi, semoga selama itu pula kami mampu menyimak sabdamu,
meneladani akhlak muliamu, dan mengikuti sunnahmu.
Ridha-Mu atas kami Ya Rabb,
jadikan kami bersama mereka, himpunkan kami dengan mereka.
0 comments :
Posting Komentar