Belum lama ini, di deretan kios buku-buku bekas di
sekitar perempatan Senen Jakarta, saya menemukan sebuah buku berjudul
“Beriman dengan Taqwa” terbitan satu penerbit Katolik di Yogyakarta.
Buku ini merupakan buku serial Pustaka Teologi dalam agama Katolik. Bagi
orang Muslim, judul buku semacam ini tentulah tidak asing, karena
kata-kata iman dan taqwa memang merupakan kosa kata resmi dalam agama
Islam. Kata ’iman’ memiliki makna khusus, tidak bisa diganti dengan
istilah lain. Orang yang beriman kepada hal-hal yang wajib diimani,
dalam istilah Islam disebut sebagai orang ’mukmin’.
Karena itu, kata
’iman’ sebagai istilah khusus, tidak sama dengan kata ’percaya’. Kalimat
”Saya percaya kepada Presiden” tidak bisa kita ganti dengan kalimat
”Saya beriman kepada Presiden”. Begitu juga kata ’taqwa’ dalam agama
Islam, memiliki makna khusus, yang bukan sekedar makna bahasa (lughawi).
Secara umum, orang-orang Islam yang taat kepada Allah, yang
melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya,
disebut sebagai orang-orang yang bertaqwa (muttaqun).
Tentulah, istilah
Islam itu akan sangat aneh andaikan kita terapkan untuk orang di luar
Islam. Misalnya, karena dipandang memiliki kepercayaan yang kuat dan
taat kepada agama Kristen, maka George W. Bush, Billy Graham, dan
sebagainya, lalu diberi julukan sebagai orang-orang Kristen yang
mukminun dan muttaqun. Atau, mereka disebut sebagai orang-orang Kristen yang shalihun dan muhtadun (yang mendapat hidayah). Tentu sebutan itu akan sangat ganjil dalam pandangan Islam.
Dengan membaca
judul buku ”Beriman dengan Taqwa” dalam perspektif Katolik tersebut,
kita bertanya, bagaimana jika suatu ketika nanti di Indonesia berdiri
sebuah gereja bernama ”Gereja at-Taqwa” atau ”Gereja Shirathal
Mustaqim”? Apakah hal itu bisa dibenarkan?
Saat ini, memang
banyak istilah-istilah khas dalam Islam yang sudah diambil sebagai
istilah-istilah keagamaan dalam agama Kristen di Indonesia. Misalnya,
istilah ’syahadat’, sudah digunakan baik oleh Protestan maupun Katolik.
Mereka menerjemahkan istilah ’Nicene Creed’ sebagai ”syahadat Nicea”.
Dalam sebuah buku berjudul ”Tanya Jawab Syahadat Iman Katolik”
(1992), disebutkan teks syahadat versi Katolik ini: “Kami percaya akan
satu Allah, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta hal-hal yang kelihatan dan tak
kelihatan, Dan akan satu Tuhan Yesus Kristus, Sang Sabda dari Allah,
Terang dari Terang, Hidup dari Hidup, Putra Allah yang Tunggal Yang
pertama lahir dari semua ciptaan, Dilahirkan dari Bapa, Sebelum segala
abad ... “
Dalam istilah
Islam, syahadat memang merupakan rukun Islam yang pertama, yaitu ikrar
bahwa ”Tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Utusan Allah.”
Mungkin tidak terbayang di benak banyak kaum Muslim, bahwa ada syahadat
lain selain syahadat yang diajarkan oleh Rasulullah, Muhammad saw.
Dalam istilah Islam, kata ’syahadat’, sudah memiliki
makna khusus, yang tidak bisa begitu saja digantikan dengan
istilah’pernyataan’, ’kesaksian’, atau ’testimoni’. Karena itu, orang
yang masuk agama Islam, diminta membaca dua kalimah ’syahadat’; bukan
diminta membaca dua kalimat ’testimoni’. Apakah bisa dibenarkan, jika
orang yang masuk Islam lalu dikatakan, dia telah ’dibaptis’ secara
Islam? Dalam tradisi Katolik ada istilah ’Konsili’ yang berarti
pertemuan para petinggi Katolik untuk merumuskan doktrin-doktrin penting
dalam agama Katolik. Jika ulama Islam melakukan pertemuan atau
musyawarah, maka musyawarah itu tidak bisa disebut sebagai ’Konsili
ulama Islam’, karena substansi acaranya memang berbeda.
Istilah-istilah Islam disebut oleh Prof. Naquib al-Attas sebagai ’Islamic vocabulary’
(Kamus Islam). Kata-kata atau istilah-istilah Islam ini bukanlah
seluruh daftar kata dalam kamus bahasa Arab, tetapi merupakan kata-kata
tertentu yang memiliki pola makna saling berkaitan dan membentuk satu
’pandangan hidup’ (worldview) yang khas Al-Quran. (Lebih jauh, lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam, (Kuala Lumpur; ISTAC, 1999).
Dari penjelasan
itu, kita bisa memahami, bahwa istilah-istilah baku dalam Islam dipahami
dengan makna yang sama oleh kaum Muslimin di seluruh dunia, meskipun
mereka berbeda suku dan bahasa. Kata Allah, iman, taqwa, shalih, shalat,
haji, shaum, dan sebagainya, dipahami dengan makna yang sama oleh umat
Islam.
Melalui penggunaan istilah-istilah kunci dalam Islam itulah,
menurut al-Attas, maka dalam sejarahnya, Islam melakukan Islamisasi
bahasa-bahasa non-Arab, seperti bahasa Melayu, Persi, Turki, Urdu, dan
sebagainya. Bahkan, bahasa Arab sendiri juga mengalami proses Islamisasi
dengan turunnya Al-Quran. Sejumlah kata Arab diberi makna baru yang
sesuai dengan pandangan hidup Islam. Kata ’karam’ (mulia) yang
sebelumnya dikaitkan dengan unsur keturunan dan harta, diberi makna baru
oleh Al-Quran dengan makna yang berkaitan dengan ketaqwaan. (QS 49:13).
Karena Islam adalah
agama yang bersifat benar dan final (QS 5:3), maka istilah-istilah
kunci dalam Islam juga memiliki makna standar yang tetap. Itu disebabkan
sifat Al-Quran yang terjaga teks dan maknanya. Sifat Al-Quran ini tentu
berbeda dengan Bibel kaum Yahudi dan Kristen yang mengalami
perkembangan dan perubahan teks dari zaman ke zaman. Karena itulah, ada
perbedaan yang sangat besar antara tradisi Islam dengan tradisi Kristen
dalam masalah penggunaan istilah-istilah keagamaan.
Sebagai contoh,
dalam penyebutan nama Tuhan. Umat Islam sangat berdisiplin dalam
menyebut nama Tuhan dengan sebutan ’Allah’, dengan bacaan tertentu. Umat
Islam seluruh dunia, dari generasi ke generasi, dari waktu ke waktu,
dari satu tempat ke tempat lain, tidak berbeda dalam mengucapkan lafaz
’Allah’, sebab teks Al-Quran dan cara membacanya juga tidak berubah dari
waktu ke waktu.
Tradisi ini sangat
berbeda dengan kaum Kristen yang sangat beragam dalam menyebut dan
mengucapkan nama Tuhan. Di Arab, kaum Kristen ada yang menyebut Tuhan
mereka dengan sebutan 'Alloh', sama dengan orang Islam. Di Indonesia
menyebut 'Allah'. Di Barat menyebut God atau Lord. Di Indonesia, kini
muncul aliran Kristen yang menolak penggunaan nama ’Allah’ dan
menggantinya dengan Yahweh.
Tahun 1999, muncul kelompok Kristen yang menamakan dirinya kelompok ’Iman Taqwa Kepada Shirathal Mustaqim’
(ITKSM) yang melakukan kampanye... [bersambung]
Ditulis oleh Dr Adian Husaini
Sumber: http://mustanir.net
0 comments :
Posting Komentar