Tahun 1999, muncul kelompok Kristen yang menamakan dirinya
kelompok ’Iman Taqwa Kepada Shirathal Mustaqim’ (ITKSM) yang melakukan
kampanye agar kaum Kristen menghentikan penggunaan lafaz Allah.
Kelompok ini
kemudian mengganti nama menjadi Bet Yesua Hamasiah (BYH). Kelompok ini juga
menerbitkan Bibel sendiri dengan nama Kitab Suci Torat dan Injil yang pada
halaman dalamnya ditulis Kitab Suci 2000.
Kitab Bibel versi BYH ini mengganti kata "Allah"
menjadi "Eloim", kata "TUHAN" diganti menjadi
"YAHWE"; kata "Yesus" diganti dengan "Yesua",
dan "Yesus Kristus" diubah menjadi "Yesua Hamasiah".
Berikutnya, muncul lagi kelompok Kristen yang menamakan dirinya "Jaringan
Gereja-gereja Pengagung Nama Yahweh" yang menerbitkan Bibel sendiri dengan
nama "Kitab Suci Umat Perjanjian Tuhan ini".
Kelompok ini menegaskan, "Akhirnya nama "Allah"
tidak dapat dipertahankan lagi." Problem penyebutan nama Tuhan atau nama
nabi seperti dalam agama Kristen tersebut, tidak dijumpai dalam Islam. Sebab,
Islam memiliki Al-Quran yang teksnya, cara membacanya, dan maknanya terjaga
sepanjang zaman. Di sinilah terjadi perbedaan dalam soal penggunaan
istilah-istilah keagamaan antara Islam dan Kristen. Para ulama Islam selama
berabad-abad dikenal memiliki tradisi yang kuat dalam penggunaan istilah-istilah
keagamaan. Banyak ulama yang secara khusus menulis kamus dan kitab tentang
definisi-definisi (ta’rifat).
Sebagian kalangan Kristen bahkan sengaja menggunakan
istilah-istilah yang khas dalam Islam. Sebagai contoh adalah penerbitan
sejumlah buku dan brosur Kristen yang menggunakan judul-judul Islam. Misalnya,
buku-buku karangan Pendeta R. Mohammad Nurdin yang berjudul: ”Kebenaran Yang
Benar (Asshodiqul Mashduq)”, ”Keselamatan Didalam Islam”, ”Selamat Natal Menurut Al-Qur’an”, ”Rahasia
Allah Yang Paling Besar”, ”Ya Allah Ya Ruhul Qudus, Aku Selamat Dunia
dan Akhirat”. Juga buku ”Upacara Ibadah Haji” karya H. Amos, dan buku-buku
karya Pendeta A. Poernama Winangun yang berjudul seperti ”Riwayat Singkat Dan
Pusaka Peninggalan Nabi Muhammad”, dan buku ”Ayat-ayat Al-Qur’an Yang
Menyelamatkan”.
Dalam buku ”Riwayat Singkat Dan Pusaka Peninggalan Nabi
Muhammad”, disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan hadits Nabi Muhammad saw,
bahwa beliau meninggalkan dua perkara yang harus dipegang teguh oleh umat
Islam, adalah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, bukan Al-Quran dan Sunnah.
”Ada juga yang menggunakan brosur-brosur yang menggunakan nama-nama Islam,
seperti Brosur: Membina Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama, Yang dikeluarkan
oleh Dakwah Ukhuwah (P.O. BOX 1272/JAT Jakarta 13012). Ada juga sebuah buku
Kristen berjudul ”al-Haqiqah al-Makhfiyah Dakhilul Quranil Karim” (Kebenaran
Tersembunyi dalam Al-Quran al-Karim). Buku ini berisi kumpulan ayat-ayat
Al-Quran yang dihimpun dan disusun oleh Pendeta Markus Agung.
Dalam masalah penggunaan istilah keagamaan ini, kiranya
lembaga-lembaga keagamaan perlu bertemu untuk merumuskan kode etik dalam
penggunaan istilah. Yang menjadi masalah memang lebih banyak bagi umat Islam,
sebab penggunaan istilah dalam Islam sangat ketat. Idealnya, setiap pemeluk
agama memiliki displin dalam penggunaan istilah agamanya masing-masing dan
tidak mencampur aduk penggunaan istilah masing-masing agama.
Tetapi, tantangan yang lebih besar bagi umat Islam sekarang
dalam soal penggunaan istilah justru datang dari kalangan umat Islam sendiri,
khususnya yang sudah terasuki oleh pemikiran Barat sekular-liberal.
Mereka-mereka inilah yang sekarang rajin memasukkan istilah-istilah dari
tradisi Yahudi dan Kristen ke dalam khazanah Islam kontemporer, seperti penggunaan
istilah Islam Liberal, Islam fundamentalis, Islam skripturalis, Islam pluralis,
Islam inklusif, Islam Ortodoks, dan sebagainya.
Rektor Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, misalnya, menulis
satu naskah pengantar buku berjudul ”Muhammadiyah: Islam Protestan.” Buku itu
sendiri oleh penulisnya diberi judul: ”Muhammadiyah Pintu Gerbang Protestanisme
Islam”.
Dalam buku ini penulisnya menggunakan istilah yang campur aduk
antara istilah Islam dan Kristen yang sebenarnya memiliki akar sejarah dan
konsep yang berbeda. Misalnya, ditulis dalam buku ini: “Etika protestan puritan
(protestan calvinis) atau reformasi protestan sepenuhnya bersandar
kepada pembacaan perjanjian lama dan perjanjian baru sebagaimana Muslim puritan
Muhammadiyah (Muhammadiyah calvinis) atau reformasi Muhammadiyah
bersandar pada sumber asli Qur’an dan Sunnah. Ia (Protestan Dahlanis) sebagai
pedagang-pedagang yang jujur dalam bertransaksi… Ia dikenal sebagai Muslim
reformis-puritan yang asketis…
Seorang pejabat Belanda yang bertugas di Indonesia waktu itu
1913 menilai bahwa Ahmad Dahlan adalah sebagai “prototipe warga Indonesia yang
memiliki etika calvinis: tekun, militan, dan cerdas.” (hal. Vi-vii).
Masuknya istilah-istilah asing yang mengacaukan konsep-konsep
pokok dalam pandangan hidup Islam disebut oleh Prof. Al-Attas sebagai
”de-Islamization of language”.
Masuknya istilah-istilah dan konsep-konsep asing yang merusak
’Islamic worldview’ inilah, menurut al-Attas, yang menyebabkan
kekacauan dalam pemikiran kaum Muslim. Dan saat ini, tantangan ’de-Islamisasi
bahasa’ yang dihadapi oleh umat Islam, jauh lebih berat dan lebih kompleks
daripada yang dihadapi oleh umat Islam di zaman Imam Ghazali, ketika beliau
menerbitkan bukunya, Tahafut al-Falasifah. Dalam kerusakan istilah dan konsep
Islam ini, al-Attas menyebut contoh masuknya penggunaan metode hermeneutika
untuk menafsirkan Al-Quran, menggantikan Ilmu Tafsir, yang di Indonesia telah
menjadi kurikulum wajib di berbagai Perguruan Tinggi Islam.
Semoga kita termasuk yang berhati-hati dan selamat dalam
menggunakan istilah-istilah keagamaan kita, sehingga kita tidak terperosok
dalam kekeliruan berpikir, apalagi kemudian membanggakan dan aktif menyebarkan
kekeliruan, sadar atau tidak! Amin.
Sumber: http://mustanir.net
0 comments :
Posting Komentar