Mengapa Pangeran Diponegoro
memerangi penjajah Belanda?
Banyak dari kita, atau juga para
pelajar di Indonesia mungkin akan menyatakan bahwa perlawanan beliau lahir
karena Belanda merampas tanah warisan leluhurnya.
Jawaban itu tidak aneh! Sebab,
buku-buku sejarah di sekolah-sekolah memang menjelaskan Diponegoro berperang
melawan Belanda karena urusan tanah dan tahta. Bukan urusan agama. Padahal, fakta
sejarah tidaklah demikian.
Sekilas
Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro adalah putra
sulung Hamengkubuwono III, seorang raja Mataram
di Yogyakarta.
Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dengan
nama Mustahar dari seorang selir bernama R.A.
Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non
permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Raden Mas
Antawirya.
Menyadari kedudukannya sebagai
putra seorang selir, Pangeran Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwono III, untuk mengangkatnya menjadi
raja. Pangeran Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat
sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo
tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo
daripada di keraton.
Perang
Diponegoro = ‘Hanya’ Masalah Tanah?
Dalam disertasinya di Universitas
Indonesia, Prof. Dr. Rifyal Ka’bah mengungkap sebuah fakta penting tentang
perlawanan Pengeran Diponegoro yang mengangkat senjata melawan penjajah Kristen
Belanda. Tujuan perang itu tidak lain adalah untuk menuntut pemberlakuan
syariat Islam di Tanah Jawa.
Mengutip buku berjudul
Gedenkschrift van den Orloog op Java, karya F.V.A. Ridder de Stuers,
(Amsterdam: Johannes Müller, 1847), Rifyal Ka’bah memaparkan penuturan seorang
Letnan Kolonel Belanda pada masa Perang Diponegoro (1825-1830), yang menyatakan
bahwa tujuan Perang Diponegoro adalah agar hukum Islam berlaku untuk orang
Jawa. Diceritakan dalam buku ini, bahwa Belanda mengirim delegasi ke pedalaman
Salatiga untuk berunding dengan Pangeran Diponegoro dan para pembantunya.
Delegasi yang membawa surat Gubernur Jenderal Hendrik Markus de Kock ini
diterima oleh Kyai Modjo, Ali Basa, dan lain-lain.
Belanda meminta peperangan
segera dihentikan, agar tidak jatuh korban lebih banyak lagi. Kyai Modjo
menjawab bahwa perang tidak dapat dihentikan selama tuntutan mereka belum
terpenuhi. Dalam perundingan itu, pihak Diponegoro juga menggunakan ungkapan
“Laa mauta illaa bil-ajal” (Tidak ajal berpantang mati). Kyai Modjo juga
menyebutkan QS an-Naml:27 yang merupakan ucapan Nabi Sulaiman kepada Ratu
Bilqis, (yang artinya): “Jangan kalian bersikap arogan terhadapku dan datanglah
kepadaku dengan menyerahkan diri.” . Ketika ditanya, apa maksud ungkapan itu, Kyai
Modjo menjawab: “Komt gij allen tot mijnen Vorst, en gaat langs het pad
der regtvaardigheit.” (Supaya kalian datang menemui Pangeranku dan berjalanlah
melalui jalan keadilan). Kyai Modjo menegaskan, bahwa keinginan Diponegoro
adalah agar hukum Islam seluruhnya berlaku untuk orang Jawa. Sedangkan
persengketaan antara orang Jawa dan orang Eropa diputuskan berdasarkan hukum
Islam dan persengketaan antara orang Eropa dengan orang Eropa, dengan
persetujuan Sultan, diputuskan berdasarkan hukum Eropa. (Lihat, Rifyal
Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Universitas Yarsi Jakarta).
Di zaman Bung Karno, pernah
diadakan acara Peringatan 100 tahun wafatnya Pangeran Diponegoro, di Istana
Negara, tanggal 8 Januari 1955. Ketika itu, Presiden Soekarno menyampaikan
pidato yang menyatakan: “Diponegoro adalah satu figuur yang besar, satu Ulama
yang linuhung, satu orang yang takut kepada Allah s.w.t., orang yang beragama
Islam, yang cinta pada agama Islam itu, dan tidak berhenti-henti dia
mengemukakan bahwa salah satu tujuan beliau, agungnya agama Islam ini. (Lihat
buku Pahlawan Diponegoro terbitan Kementerian Penerangan RI, tahun 1955).
Jadi, Pangeran Kyai Diponegoro memang
bukan layaknya makelar tanah. Dia berjuang untuk agama dan sekaligus untuk
bangsanya. Tentu tidak adil jika meletakkan motif dan tujuan perjuangan seorang
ulama seperti Diponegoro direduksi dari urusan agama menjadi sekedar urusan
duniawi. Sekolah-sekolah Islam dan pondok-pondok pesantren harusnya mengajarkan
sejarah para pejuang Islam dengan benar, dan menjauhkan diri dari rekayasa
sejarah yang dibuat oleh para orientalis. Lembaga-lembaga pendidikan Islam
perlu menyadari, bahwa sejak dulu, penjajah selalu berusaha menjauhkan umat
Islam dari agamanya sendiri.
Adalah Christian Snouck Hurgronje
yang terkenal sebagai orientalis yang sangat mengkhawatirkan perkembangan Islam
di Indonesia. Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda, Dr. Aqib Suminto
mengutip satu artikel Snouck di majalah Indische Gids, yang dengan tegas
mengingatkan bahwa Islam berbahaya bagi Belanda. Bagi Snouck, Islam sama sekali
tidak bisa diangap remeh, baik sebagai agama maupun sebagai kekuatan politik di
Indonesia. Ia menolak anggapan bahwa kaum Muslimin akan beralih ke agama
Kristen secara besar-besaran. (Lihat, Aqib Suminto, Politik Islam Hindia
Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985).
Cendekiawan asal Belanda, Karel
Steenbrink juga mencatat, bahwa Snouck Hurgronje berpendapat, sistem Islam
telah menjadi sangat kaku dan tidak mampu lagi menyesuaikan diri dengan abad
baru. Snouck melakukan langkah-langkah untuk membebaskan kaum Muslimin dari
agama mereka. Menurutnya, hanya melalui organisasi pendidikan yang berskala
luas atas dasar yang universal dan netral secara agamis, pemerintah kolonial
dapat ‘membebaskan’ atau melepaskan Muslimin dari agama mereka. “Pengasuhan dan
pendidikan adalah cara untuk mencapai tujuan tersebut. Bahkan, di
negeri-negeri berbudaya Islam yang jauh lebih tua dibanding kepulauan
Nusantara, kita menyaksikan mereka bekerja dengan efektif untuk membebaskan umat
Muhammad dari kebiasaan lama yang telah lama membelenggunya,” demikian tulis
Snouck seperti dikutip Karel Steenbrink. (Lihat, Karel Steenbrink, Kawan dalam
Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942), (Bandung:
Mizan, 1995), hal. 96).
Melalui bukunya, Snouck Hurgronje
en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje
dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah
Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk ’menaklukkan
Islam’. Tahun 1938, M. Natsir pernah menulis sebuah artikel berjudul: ”Suara
Azan dan Lonceng Gereja”. Artikel ini mengomentari hasil Konferensi
Zending Kristen di Amsterdam pada 25-26 Oktober 1938, yang juga menyinggung
petingnya peran pendidikan Barat dalam menjauhkan kaum Muslim dari agamanya.
Natsir mengutip ungkapan Prof. Snouck Hurgronje, dalam bukunya Nederland en de
Islam, ”Opvoeding en onderwijs zijn in staat, de Moslims van het Islamstelsel
te emancipeeren.” (Pendidikan dan pelajaran dapat melepaskan orang
Muslimin dari genggaman Islam). (***)
Sumber:
0 comments :
Posting Komentar