Agama (Islam) nggak perlu ikut campur tangan masalah
politik dan kehidupan antar masyarakat, hanya boleh ngurusin hubungan Tuhan dan
manusia. Hal itu dikhawatirkan terjadinya politisasi agama, pengatasnamaan
agama. Jadi, sekulerisme atau pemisahan antara agama dan dunia harus dilakukan.
Benarkah harus kayak gitu? Sebelum menjawab, kita harus
tahu dulu sejarah sekulerisme.
Barat Memilih Sekuler
Ada tiga alasan yang melatarbelakangi Barat memilih
jalan hidup sekuler.
Pertama, problem
sejarah Kristen. Berbeda 180
derajat dengan sekarang. Di Barat Abad Pertengahan, tidak ada satu pun aspek
kehidupan yang tidak tersentuh oleh pengaruh Gereja.[1]
Ketika Imperium Romawi jatuh pada tahun 476 M, Gereja
tetap mempertahankan sistem administrasi Romawi dan menjadi agen pemersatu
serta satu-satunya institusi yang memberikan alternatif rekonstruksi kehidupan.
Saat kota-kota mengalami kehancuran selama Abad Pertengahan, biara menjelma
menjadi pusat kebudayaan, juga tempat perawatan dan bantuan bagi orang sakit
dan miskin serta menyiapkan tempat bagi para pengembara.[2]
Selain itu, Paus yang sekarang berkedudukan di Vatikan,
di Abad Pertengahan memiliki kekuasaan atas pemerintah. Walaupun tanpa tentara,
institusi kepausan mampu melakukan pengucilan terhadap Raja yang memiliki
kekuasaan besar di Eropa. Hal ini terlihat dari perseteruan antara Raja Henry
IV dan Paus Gregory VII.
Paus juga diyakini sebagai Wakil Kristus (Vicar of Christ) yang bersifat Infallible (tidak dapat salah). Jadi walaupun Paus melegalisasi
kekejaman, itu bukanlah suatu kesalahan. Kekuasaan Gereja yang sangat besar
juga menjadikan berbagai penyelewengan, seperti praktek jual beli surat
pengampunan dosa dan persekutuan tokoh agama dengan penguasa dalam penindasan
rakyat.
Berbagai hal di atas mendorong pemberontakan. Di
antaranya pemberontakan Martin Luther terhadap Paus yang melahirkan ajaran
Protestan pada abad ke-16, Revolusi Prancis (1789), dan naiknya Elizabeth I
(1558-1603) yang beragama Protestan Anglikan ke posisi ratu Inggris
menggantikan Ratu Mary yang Katholik yang diwarnai sengketa berdarah.
Institusi kekuasaan agama
(Theokrasi) semacam ini tak dikenal dalam Islam. Sistem khilafah dalam Islam,
tak berarti bahwa Khalifah tak pernah salah. Islam memandang bahwa selain nabi,
manusia bisa berbuat salah termasuk ‘ulama’ dan penguasa. Jikalau seorang
khalifah melakukan penyelewengan, hal ini semata-mata kesalahan khalifah
tersebut, dan itu jelas salah di mata Allah Yang Maha Adil. Selain itu,
mayoritas ‘ulama’ zaman dahulu sangat berhati-hati dalam berinteraksi terhadap
penguasa. Mereka lebih rela dipenjara sampai wafat daripada menjadi penjilat.
Ibnu Taimiyah dan Imam Ahmad ibn Hanbal menjadi salah satu contohnya.
Sumber : Husaini, Adian. (2007). Mengapa Barat Menjadi Sekuler-Liberal?
Ponorogo : Centre for Islamic and
Occidental Studies (CIOS).
0 comments :
Posting Komentar