“Katakan yang benar,” sabda Rasulullah dalam riwayat Al-Baihaqi, “Meskipun pahit.”
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un,” gumam Muhammad ibn Sirin, seorang alim murid shahabat Anas ibn Malik radhiyallahu ‘anhu. Bagaimana tidak? Beliau yang juga merupakan seorang pedagang ini menemukan bangkai tikus di salah satu kaleng besar minyak zaitun yang dikulaknya dari pemasok dengan berhutang. Tak tanggung-tanggung, akad atau transaksinya kali ini senilai 40.000 dirham perak. (1 dirham perak= 2,975 gram perak).
“Seluruh minyak
ini dibuat di tempat penyulingan yang
sama,” ujar beliau kepada
salah seorang pelayannya. “Aku khawatir
bahwa najis bangkai ini telah mencemari keseluruhan minyak. Maka buanglah
semuanya!”
Pada saat itu, modal di tangan Muhammad ibn Sirin
sedang nihil. Beliau berencana hendak membayar minyak itu dengan hasil
penjualannya nanti. Namun nyatanya, perkiraan beliau meleset dengan peristiwa
ini. Si tengkulak pun menyeret kasus ini ke pengadilan hingga Muhammad ibn
Sirin harus dijatuhi hukuman kurungan. Para warga pun mengantar kepergian
Muhammad ibn Sirin ke penjara dengan berat hati dan linangan air mata.
Walaupun Muhammad ibn Sirin rela dengan hukuman yang dijatuhkan, beliau memang bukan orang yang bisa disalahkan dalam hal ini. Beliau lebih memilih jalan kejujuran daripada harus membiarkan pelanggan menanggung kerugian. Beliau juga lebih membuang semua minyak tersebut demi prinsip kehati-hatian daripada membuat pelanggan ragu atas suci tidaknya minyak tersebut.
“Katakan yang benar meskipun pahit.” Sebuah kaidah suci yang mengajarkan pada kita betapa berharga sebuah nilai kejujuran dan kepercayaan dibanding keuntungan materi belaka yang fana.
Salah Persespi
Hari ini, atas nama dakwah, banyak tumbuh
bibit-bibit baru, yang pergi ke sana kemari guna menebar kebenaran Ilahi. Suatu
fenomena yang jelas layak kita syukuri. Namun terkadang (atau bahkan sering),
kita melakukan hal tersebut terlalu bersemangat hingga lupa diri, bahwa mereka
yang mendengarkan kita bukannya memperoleh kesejukan ruhani, tetapi sesuatu
yang memerahkan telinga dan melukai hati. Mereka merasa bahwa yang kita
sampaikan hanyalah menunjukkan aib, kesalahan mereka, dan mempermalukan mereka.
Saat ditanya alasan kita melakukan itu, jawab kita, “Katakan yang benar meski pahit.”
Namun sayang, nampaknya kita kurang memahami makna sabda Nabi kita yang suci. Beliau bersabda, “Katakan yang benar meski pahit,” bukannya “Dengarkan yang benar meski pahit.” Maksudnya?
Muhammad ibn Sirin memberi kita keteladanan, bahwa “pahit” itu bagi mereka yang menyampaikan, bukan mereka yang mendengarkan. Kebenaran belum tentu sampai pada mereka, tetapi pahitnya sudah pasti mereka rasakan, itu yang justru sering kita lakukan pada mereka orang lain, mereka yang harusnya berhak mendapat senyum manis dan kata-kata penyejuk kalbu dari kita.
Berdakwah ataupun menasehati, janganlah berakhir menyakiti, tapi jadikanlah sebagai jembatan untuk saling mencintai.
“Katakan yang benar,” sabda sang Nabi dalam riwayat Al-Baihaqi, “Meskipun pahit.” Bagi kita yang menyampaikan.
Wallahu a’lam.
Referensi : A. Fillah, Salim. 2010. Dalam Dekapan Ukhuwah. Yogyakarta: Pro-U Media.
0 comments :
Posting Komentar