2 Feb 2013

Kebaikan Itu Masih Ada



Setelah melalui berbagai hal yang menyesakkan jiwa, akhirnya lelaki tersebut sampai di tempat tujuannya, sebuah biara. Seorang Rahib ahli ibadah menyambut lelaki tersebut dengan roman muka datar.



“Rahib yang suci,” ujar lelaki tersebut, “Mungkinkah dosaku diampuni?”
“Memangnya apa khilafmu?” Rahib tersebut balas bertanya.
“Aku telah membunuh,” lelaki tersebut agak tercekat, “Sembilan puluh sembilan orang. Mungkinkah dosaku diampuni?”

Betapa terkejut sang Rahib mendengar penuturan lelaki yang ada di hadapannya tersebut. Tak lama, air muka keterkejutan sang Rahib bercampur dengan guratan rasa jijik yang mendalam.
“Membunuh satu jiwa sama artinya dengan membinasakan seluruh jiwa,” sang Rahib menggumamkan ayat dalam Taurat, “Sembilan puluh sembilan… sungguh dosa yang tak terperikan. Tak terampunkan.”
Tunas harapan si lelaki tersebut seolah layu mendengar kata-kata tersebut, berganti dengan dendam dan amarah yang memuncak. Tak lama berselang, sang Rahib hanyalah tinggal jasad tanpa jiwa. Genap seratus orang sudah korban dari lelaki tersebut.
Setelah beberapa waktu, lelaki tersebut kembali mencari orang yang dapat menyelesaikan masalah yang menghantuinya siang malam. Kali ini dia menaruh harapan kepada seorang alim.
“Allah itu Maha Pengampun, saudaraku,” jawab sang alim, “Taubatmu pasti diterima. Hanya saja, selain menyesali segala yang telah berlalu dan menebusnya dengan kebaikan-kebaikan, engkau juga harus meninggalkan negeri yang selama ini kau tinggali. Pergilah ke negeri lain untuk memulai hidupmu yang baru. Engkau harus berhijrah.”
Lelaki tersebut melakukan saran tersebut. Namun kematian ternyata menjempunya di tengah perjalanan. Malaikat rahmat pun dengan izin Allah berhasil memenangkan perdebatan dengan malaikat adzab. Maka Allah Yang Maha Pengasih menjadikan lelaki tersebut satu dari penghuni surga.

***

Walaupun redup, kita tahu, cahaya kebaikan dalam diri lelaki tersebut masih ada, mengintip di balik pekatnya darah seratus nyawa. Sang Rahib memang ahli ibadah, tetapi bukan ahli ilmu. Dia tak kuasa melihat kebaikan yang ada pada diri lelaki tersebut.
Bila Rahib tersebut begitu tertekan dengan “membunuh”, maka sang alim tersebut terkesan dengan kata “taubat”. Memang kebaikan tersebut belum terlaksana, tetapi dengan penuh kepercayaan akan kebaikan yang ada dalam hati si lelaki, sang alim tersebut dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala mampu mendorong lelaki tersebut menyongsong jalan ke surga.
Dalam kisah umat terdahulu, kita mengambil pelajaran. Belajar untuk mengenali kebaikan yang ada meski redup cahanya, meski hanya menyembul mungil di balik pekatnya noda. Belajar untuk percaya. Belajar memberinya kesempatan untuk tampil mengemuka, menunjukkan kemilaunya.
Wallahu a’lam.

Referensi : A. Fillah, Salim. 2010. Dalam Dekapan Ukhuwah. Yogyakarta: Pro-U Media.

0 comments :

Posting Komentar