Setelah melalui berbagai hal yang menyesakkan jiwa,
akhirnya lelaki tersebut sampai di tempat tujuannya, sebuah biara. Seorang
Rahib ahli ibadah menyambut lelaki tersebut dengan roman muka datar.
“Rahib yang
suci,” ujar lelaki tersebut, “Mungkinkah dosaku diampuni?”
“Memangnya apa
khilafmu?” Rahib tersebut balas
bertanya.
“Aku telah
membunuh,” lelaki tersebut agak
tercekat, “Sembilan puluh sembilan orang.
Mungkinkah dosaku diampuni?”
Betapa terkejut sang Rahib mendengar penuturan
lelaki yang ada di hadapannya tersebut. Tak lama, air muka keterkejutan sang
Rahib bercampur dengan guratan rasa jijik yang mendalam.
“Membunuh satu
jiwa sama artinya dengan membinasakan seluruh jiwa,” sang Rahib menggumamkan ayat dalam Taurat, “Sembilan puluh sembilan… sungguh dosa yang
tak terperikan. Tak terampunkan.”
Tunas harapan si lelaki tersebut seolah layu
mendengar kata-kata tersebut, berganti dengan dendam dan amarah yang memuncak.
Tak lama berselang, sang Rahib hanyalah tinggal jasad tanpa jiwa. Genap seratus
orang sudah korban dari lelaki tersebut.
Setelah beberapa waktu, lelaki tersebut kembali
mencari orang yang dapat menyelesaikan masalah yang menghantuinya siang malam.
Kali ini dia menaruh harapan kepada seorang alim.
“Allah itu Maha
Pengampun, saudaraku,” jawab sang
alim, “Taubatmu pasti diterima. Hanya
saja, selain menyesali segala yang telah berlalu dan menebusnya dengan
kebaikan-kebaikan, engkau juga harus meninggalkan negeri yang selama ini kau
tinggali. Pergilah ke negeri lain untuk memulai hidupmu yang baru. Engkau harus
berhijrah.”
Lelaki tersebut melakukan saran tersebut. Namun
kematian ternyata menjempunya di tengah perjalanan. Malaikat rahmat pun dengan
izin Allah berhasil memenangkan perdebatan dengan malaikat adzab. Maka Allah Yang
Maha Pengasih menjadikan lelaki tersebut satu dari penghuni surga.
***
Walaupun redup, kita tahu, cahaya kebaikan dalam diri
lelaki tersebut masih ada, mengintip di balik pekatnya darah seratus nyawa.
Sang Rahib memang ahli ibadah, tetapi bukan ahli ilmu. Dia tak kuasa melihat
kebaikan yang ada pada diri lelaki tersebut.
Bila Rahib tersebut begitu tertekan dengan
“membunuh”, maka sang alim tersebut terkesan dengan kata “taubat”. Memang
kebaikan tersebut belum terlaksana, tetapi dengan penuh kepercayaan akan
kebaikan yang ada dalam hati si lelaki, sang alim tersebut dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala mampu mendorong
lelaki tersebut menyongsong jalan ke surga.
Dalam kisah umat terdahulu, kita mengambil
pelajaran. Belajar untuk mengenali kebaikan yang ada meski redup cahanya, meski
hanya menyembul mungil di balik pekatnya noda. Belajar untuk percaya. Belajar
memberinya kesempatan untuk tampil mengemuka, menunjukkan kemilaunya.
Wallahu a’lam.
Referensi : A. Fillah, Salim. 2010. Dalam Dekapan Ukhuwah. Yogyakarta: Pro-U Media.
0 comments :
Posting Komentar