Mungkin kita sudah mendengar bahwa Latta adalah
nama berhala yang disembah oleh orang kafir Quraisy dahulu yang berupa patung.
Nama Latta di singgung oleh Allah Ta’ala dalam ayat:
أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَالْعُزَّى
(19) وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرَى(20) أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ الْأُنْثَى
(21) تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيزَى (22) إِنْ هِيَ إِلَّا أَسْمَاءٌ
سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ
إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ
مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى (23)
“Maka apakah patut kamu (hai orang-orang
musyrik) menganggap Al Latta dan Al Uzza. dan Manat yang ketiga, yang paling
terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)? Apakah (patut) untuk kamu (anak)
laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu
pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan
bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun
untuk (menyembah) nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan,
dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang
petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka” (QS. An Najm: 19-23)
Namun kebanyakan dari kaum muslimin belum
mengetahui siapa sebenarnya Latta itu. Apakah ia sekedar patung? Mengapa ia
disembah?
Imam Ibnu Jarir Ath Thabari dalam tafsirnya
menjelaskan bahwa ada 2 cara membaca اللَّاتَ.
Yang pertama adalah dengan men-takhfif huruf ta’ (tidak di-tasydid).
Jadi dibaca al laata, yang menunjukkan sebuah nama. Sebagian
ulama mengatakan disebut al laata karena berasal dari lafadz ‘Allah’
kemudian ditambahkan ta’ ta’niits. Sebagaimana ‘Amr, menjadi ‘Amrah.
Juga sebagaimana ‘Abbas menjadi ‘Abbasah. Demikianlah cara orang-orang
musyrikin menyebut berhala mereka dengan nama Allah untuk mengagungkan para
berhala tersebut. Dan dari nama Allah Al ‘Aziz muncul nama Al ‘Uzza. Dan mereka
menganggap para berhala itu sebagai anak-anak perempuan Allah (Tafsir Ath
Thabari, 22/522). Yang membaca dengan bacaan al laata diantaranya
Qatadah, ia pun menjelaskan:
أما اللات فكان بالطائف
“adapun al laata itu letaknya ada di Tha’if”
(Tafsir Ath Thabari, 22/523)
Juga Ibnu Zaid, ia berkata:
اللات بيت كان بنخلة تعبده قريش
“al laata itu sebuah rumah yang berada
berada di Nakhlah, daerah antara Thaif dan Makkah” (Tafsir Ath Thabari,
22/523)
Adapun bacaan yang kedua adalah dengan men-tasydid
huruf ta’. Jadi dibaca al laatta, yang menunjukkan sifat dari si berhala
yang dimaksud. Bacaan ini dari riwayat Ibnu ‘Abbas, Mujahid dan Abu Shalih yang
mereka menyatakan:
كان رجلا يَلُتّ السويق للحاج فلما مات
عكفوا على قبره فعبدوه
“al latta dahulu adalah seorang lelaki yang membuat
adonan roti (yang dibagikan cuma-cuma) kepada jama’ah haji. Ketika ia meninggal,
orang-orang beri’tikaf di kuburannya dan menyembahnya” (Tafsir Ath Thabari,
22/523)
Ibnu Katsir juga menjelaskan tentang Latta dalam Tafsir
Ibnu Katsir (7/455) :
وَكَانَتِ “اللَّاتُ” صَخْرَةً
بَيْضَاءَ مَنْقُوشَةً، وَعَلَيْهَا بَيْتٌ بِالطَّائِفِ لَهُ أَسْتَارٌ وسَدَنة،
وَحَوْلَهُ فِنَاءٌ مُعَظَّمٌ عِنْدَ أَهْلِ الطَّائِفِ
“al latta adalah patung putih yang berukir. Ia
ditempatkan dalam sebuah rumah di Tha’if yang memiliki kelambu-kelambu dan juru
kunci. Sekelilingnya terdapat halaman. Latta di agungkan oleh penduduk Tha’if”
Kemudian Ibnu Katsir menjelaskan hakikat Latta dan
membawakan hadits :
عن ابن عباس رضي الله عنهما ، في قوله
: { اللات والعزى } كان اللات رجلا يلت سويق الحاج
“Dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhuma, beliau
menafsirkan makna ayat اللات
والعزى bahwa Latta adalah seorang lelaki yang membuat adonan roti untuk
para jama’ah haji” (HR. Bukhari no. 4859)
Singkat kata, Latta adalah sebutan untuk seorang
shalih yang membuatkan roti kepada jama’ah haji dengan cuma-cuma. Ketika ia
meninggal, orang-orang mengenangnya dan mendatangi kuburannya,
lalu beribadah di sana. Lama-kelamaan ia diagungkan dan menjadi berhala yang
disembah selain Allah.
Faedah yang bisa kita ambil, ternyata memuji dan
mengkultuskan orang secara berlebihan bisa mengakibatkan ia menjadi sesembahan
yang disembah. Awalnya hanya dipuja-puji, namun orang-orang selanjutnya mulai
membuatkan patung, lalu dibuatkan rumah untuk patung itu, lalu lama-kelamaan
mereka beri’tikaf (berdiam diri untuk beribadah) di sana, dan akhirnya
orang-orang selanjutnya pun menyembahnya. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam sangat mewanti-wanti umatnya untuk tidak berlebihan memujinya dan
tidak mengkultuskan beliau. Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لا تُطْروني ، كما أطْرَتِ النصارى
ابنَ مريمَ ، فإنما أنا عبدُه ، فقولوا : عبدُ اللهِ ورسولُه
“Jangan berlebihan memujiku sebagaimana
orang-orang Nashrani memuja-muji Isa bin Maryam. Karena aku hanyalah hamba-Nya maka
sebutlah aku: hamba Allah dan Rasul-Nya” (HR. Al Bukhari 3445)
Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam juga
mewanti-wanti agar makam beliau tidak dijadikan tempat ibadah dan disembah,
beliau bersabda:
اللَّهمَّ لا تجعَلْ قبري وثنًا
يُعبَدُ, اشتدَّ غضبُ اللهِ على قومٍ اتَّخذوا قبورَ أنبيائِهم مساجدَ
“Ya Allah, jangan jadikan kuburanku sebagai
berhala yang disembah. Sangat keras murka Allah terhadap kaum yang menjadikan
kuburan Nabi mereka sebagai masjid (tempat ibadah)” (HR. Ahmad 13/88, di
shahihkan Ahmad Syakir dalam ta’liq-nya)
Faedah lain, ternyata orang-orang musyrik zaman
Jahiliyah bukan menyembah patung-patung yang diyakini bisa menciptakan bumi,
menciptakan langit, mengatur alam semesta dan isinya. Akan tetapi mereka
menyembah berhala yang merupakan representasi dari makhluk Allah yang dianggap shalih,
dianggap keramat, dianggap bisa mendekatkan dan menyampaikan hajat mereka
kepada Allah.
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ
أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain
Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka
mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”” (QS. Az Zumar: 3).
Wallahu waliyut taufiq.
—
Artikel Muslim.Or.Id
0 comments :
Posting Komentar