“Apa itu hijab? Apa itu organisasi islam? Apa hubunganya
hijab dengan organisasi islam?”. Mungkin itu pertanyaan yang ada dalam benak teman-
teman semua, yang saat ini bisa dikatakan sebagai aktivis dakwah.
W.O.W...aktivis dakwah bro..?? Keren dong gue..?? yeah, of course..teman-teman
special dimata Allah Ta’ala. Apa yang membuat kalian begitu special? Hayo..pada
tau nggak nih? Teman- teman special karena teman- teman termasuk dalam golongan
orang- orang yang menyerukan kebenaran, orang-orang yang rela berkorban demi
tegaknya dien Islam, orang- orang berjuang demi kemenangan Islam. Allahuakbar...!!!
Pentingkah hijab dalam Organisasi Islam
Organisasi Islam adalah sebuah wadah
untuk teman-teman aktivis dalam menuangkan segala kemampuan yang dimiliki demi
mewujudkan visi dan misi. Organisasi Islam tentu berbeda dengan organisasi yang
lain teman... Mulai dari tujuan dibentuknya, orientasinya, peraturannya, orang-
orangnya, adab pergaulanya dan lain sebagainya. Semua dilandaskan pada syariat
Islam yang indah dan tertata dari hal kecil sampai hal besar.
Disini kita akan membahas sedikit
mengenai hijab yang mungkin masih menjadi pertanyaan teman- teman, (yang
biasanya buat pembatas antara ikhwan-akhwat itu, lho) Perlukah? Wajibkah? Untuk mengawalinya teman- teman bisa menyimak
dalam ayat berikut.
“...Dan
apabila kalian meminta sesuatu kepada mereka, maka mintalah dari balik hijab.
Yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka...” (QS. Al Ahzab: 53).
Ayat hijab berlaku ketika seorang
wanita melakukan pembicaraan dengan laki-laki di dalam rumahnya. Rumah adalah
tempat yang nyaman, terlindung dari pandangan pengawasan mata manusia. Yang
diluar tak tahu apa yang terjadi didalam dan sebaliknya. Maka peluang
terjadinya fitnah akan luar biasa besar. Na’udzubillah....
Mungkin jika digambarkan pada
kehidupan keseharian teman-teman, kondisi rumah sama halnya dengan
kesekretariatan atau lebih populer dengan sebutan sekre. Sekre yang selalu
digunakan untuk syuro, mengungkapkan
ide atau gagasan ikhwan akhwat para penggiat dakwah. Jika tidak ada hijab, maka peluang mata
bertemu dengan mata akan semakin besar, dan perlu diingat semua berawal dari
mata. Tentu teman- teman sangat populer dengan kata-kata “Dari mata turun ke
hati” bukan?
Dalam surat An Nur 30-31, Allah Ta’ala telah menjelaskan agar manusia
dapat menahan pandanganya dan menjaga kemaluannya. Pernah seorang bijak memberi
nasihat yang intinya bahwa dalam tubuh manusia ada sesuatu yang berselubung.
Jika Tuhan merobek selubung itu maka akan terasa sakit. Namun demikian, masih
ada juga manusia yang mengulanginya, maka Tuhan terus merobek selubung itu
sebagai tanda peringatan. Selubung itu adalah “Hati”.
Dalam masalah
menundukkan pandangan, ada hadits menarik yang menceritakan kejadian ini.
Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, dia
berkata, “Aku
bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengenai pandangan yang
tidak di sengaja. Maka beliau memerintahkanku supaya memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim)
Sangat jelas sebenarnya, pandangan
yang tidak “sengaja” saja
oleh Rasulullah sahabatnya disuruh
memalingkan apalagi kalau disengaja.
Dalam komunikasi dan pergaulan
ikhwan akhwat pada organisasi Islam siapa yang dapat menjamin bahwa hati ini
tidak akan tertarik kepada lawan jenis atau keinginan- keinginan tertentu untuk
menjalin hubungan? Dalam kehidupan orang awam, pacaran adalah hal yang biasa.
Namun berbeda dalam kehidupan aktivis dakwah.
Pacaran menjadi hal yang “luar
biasa”.
Karena teman- teman ikhwan akhwat tidak mengenal pacaran. Jangan cemari dakwah
dengan penyimpangan sekecil apapun. Karena jika ada penyimpangan maka hal
tersebut dapat menghambat pertolongan Allah Ta’ala
kepada kita dan keberkahan dalam dakwahpun dipertanyakan padahal kita bergerak
dengan membawa nama ISLAM. Benarkah aktivitas dan segala pengorbanan kita akan
mendapatkan pahala dan berkah dari-Nya atau hanya sekedar rasa lelah semata yang
kita dapat? Penting untuk diingat bahwa dalam beraktivitas dalam sebuah organisasi
Islam niatan yang lurus dan orisinalitas dakwah harus selalu dijaga.
Hijab, penting untuk menjaga pergaulan dengan lawan jenis
Maka hijab adalah kehati-hatian pada
suatu kondisi, dan saddudz dzari’ah (celah
kerusakan). Wallahu wa Rasuuluhu A’lam..
Kerja
Nggak Maksimal?
Kalau ada
hijab, bukannya komunikasi jadi agak ribet. Itu kan mempengaruhi kinerja ke
depannya. Gimana dong?
Memang kita dituntut selain
menjalankan proker agar berjalan baik kita juga harus menjaga batasan-batasan
syar’i mana yang perlu maupun tidak perlu. Sebenarnya kita bisa kok
mengelaborasikan keduanya, proker berjalan efektif dan tetap terjaga interaksi
kita antar ikhwan-akhwat.
Coba kita
lihat notes
ketua Gamais ITB akh Ridwansyah (Ketua GAMAIS ITB 2008-2009), yang isinya kurang lebih seperti ini:
Proses komunikasi yang efisien.
Komunikasi yang dilakukan antara ikhwan dan akhwat perlu diefisienkan sedemikan
rupa, agar tidak terjadi fitnah yang mungkin bisa terbentuk. Saya akan
mengambil contoh sms seorang ikhwan ke akhwat, dalam dua versi dengan topik
yang sama, yakni mencocokan waktu untuk rapat.
Versi 1
Ikhwan : assalamu’alaikum ukhti, bagaimana
kabarnya ? hasil UAS sudah ada ?
Akhwat : wa’alaikum salam akhie,
alhamdulillah baik, berkat do’a akhie juga, hehehe, UAS belum nih, uhh, deg deg
an nunggu nilainya, tetep mohon doanya yah !!
Ikhwan : iya insya Allah didoakan, oh ya
ukhti, kira kira kapan yah bisa rapat untuk bahas tentang acara ?
Akhwat : hmhmhm… kapan yah ? akhie bisanya
kapan, kalo aku mungkin besok siang dan sore bisa
Ikhwan : okay, besok sore aja dech, ba’da
ashar di koridor timur masjid, jarkomin akhwat yang lain yah
Akhwat : siap komandan, semoga Allah selalu
melindungi antum
Ikhwan : sip sip, makasih yah ukhti,
GANBATTE !! wassalamu’alaikum
Akhwat : wa’alaikum salam
Versi 2
Ikhwan : assalamualaikum, ukh, besok sore
bisa rapat acara ditempat biasa ? untuk bahas acara
Akhwat : afwan, kebetulan ada kuis, gimana
kalo besok siang aja?
Ikhwan : insya Allah boleh, kita rapat
besok siang di koridor timur masjid, tolong jarkom akhwat, syukron,
wassalamu’alaikum
Dari dua contoh pesan
singkat ini kita bisa melihat bagaimana pola komunikasi yang efektif dan tetap
menjaga batasan syar’i. Pada versi 1 kita bisa melihat sebuah percapakan
singkat via sms antara ikhwan dan akhwat yang bisa dikatakan sedikit “lebai” (
baca “ berlebihan ), sedangkan pada versi 2 adalah percakapan antara ikhwan dan
akhwat yang to the point, tanpa basa basi. Sebenarnya bagaimana kita membuat
batasan tergantung bagaimana kita membiasakannya di lembaga dakwah kita saja.
Perlu adanya leader
will untuk membangun budaya komunikasi yang efisien dan
“secukupnya”.
Hindari komunikasi dengan lawan jenis yang berlebihan, lebay, dan tidak penting
Dalam hal percakapan
langsung, seorang ikhwan dan akhwat sangat diharapkan untuk menjauhi percapakan
berdua saja, walau itu di tempat umum. Saya menyarankan agar salah satu ikhwan
atau akhwat meminta mahramnya (sesama jenis kelamin) untuk menemaninya. Dengan
itu diharapkan pembicaraan menjadi terjaga dan meminimalkan kesempatan untuk
khilaf. Dengan melakukan pembicaraan yang secukupnya ini sebetulnya dapat lebih
membuat pekerjaan menjadi lebih cepat dan efektif. Karena setiap pembicaraan
yang dilakukan tidak ada yang sia-sia, semua membahas tentang agenda dakwah
yang dilakukan.
Selain itu, perlu kiranya
kita mengurangi waktu ikhwan dengan akhwat untuk bekerja bersama pada waktu dan
tempat yang sama. Sebutlah untuk pekerjaan mengepak sembako untuk baksos, saya
merekomendasikan agar kegiatan dilakukan terpisah. Jangan ikhwan dan akhwat sama sama melakukan sebuah aktifitas,
contohnya lagi ikhwan dan akhwat bersama sama menimbang gula, ikhwan memasuki
gula ke plastik dan akhwat menimbang dan mengikat plastik.
Saya merekomendasikan agar hal seperti ini tidak terjadi,
karena proses ini memungkinkan adanya kesempatan untuk khilaf. Kita tidak akan
pernah mengetahui isi dari pikiran dan hati seseorang. Oleh karena itu
diperlukan regulasi yang tepat untuk menjaga kader dari hal hal yang bisa
merusak keberkahan dakwah. Untuk kasus kerja bersama baksos, bisa saja menjadi
ikhwan mengerjakan di bagian pengepakkan beras dan gula, akhwat mengerjakan
pengepakkan susu dan minyak. (*notes dari Ketua GAMAIS ITB 2008/2009)
Lantas, gimana dengan interaksi di luar antara laki-laki (ikhwan) dan perempuan (akhwat) yang tanpa hijab? Atau bolehkah kita ngasih salam ke lawan jenis non-mahram?
Selanjutnya di Makna Hijab dalam Organisasi Islam 2.
Referensi:
Tulisan dari
Ketua Umum BPPI RoRo (Rongewu Rolas atau 2012), Anggel Dwi Satria, dan Ketua
Bidang Nisaa’ BPPI RoRo, Wulan Hastuti. Semoga selalu diberi keistiqamahan
dalam jalan Islam hingga meraih jannah-Nya.
http://abiubaidah.com/
http://blog.re.or.id
https://id-id.facebook.com/Alquransebagaipedomanhidupini/posts/483387151702856
hebat,,
BalasHapus