Allāh adalah nama bagi Tuhan dalam ajaran Islam
yang tertuang dalam kitab suci Al-Qur’an. Hal ini tersurat jelas melalui
firman-Nya secara langsung dalam Surah Thaha ayat keempat belas, “Sesungguhnya Aku ini adalah Allāh, tidak ada Tuhan (yang haq) selain Aku, maka
sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku.”
Islam dan Tauhid
Keberadaan Allāh
Allāh = Tuhan dalam Agama Lain?
Islam dan Ketuhanan Non-Islam
Tiga Tuhan Satu Tuhan
Penjelmaan Tuhan
Perantara dalam Beribadah
Dari ayat di atas, Allāh Ta’ala menegaskan bahwa konsep perantara dalam ibadah termasuk kategori syirik. Seperti praktek pengagungan berhala oleh orang musyrik ‘Arab dulu, umat Kristen dengan praktek do’a melalui orang-orang yang dianggap suci, umat Hindu melalui dewa-dewi, dan praktek lain semacamnya yang menggunakan perantara dalam ibadah.
Kesimpulan
Dari pemaparan sebelumnya dapat diambil kesimpulan bahwa Allāh Ta’ala adalah Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai umat Islam, tidak cukup hanya meyakini bahwa Allāh Ta’ala Maha Pencipta, tetapi harus diwujudkan dengan mengesakan-Nya dalam beribadah dan menjauhi segala bentuk kesyirikan.
Konsep “semua agama satu Tuhan” juga terbantah dengan kajian mendalam mengenai konsep ketuhanan dalam berbagai agama. Konsep ketuhanan, suatu hal paling mendasar dari suatu agama, terbukti saling bertolak belakang antara Islam dengan agama lain menyimpulkan bahwa Islam dengan agama lain tidak bisa disamakan. Terlebih Allāh Ta’ala mengkritisi secara langsung konsep ketuhanan di luar Islam.
Keesaan Tuhan dalam Islam tidak termanifestasi dalam berbagai bentuk. Islam tidak mengenal istilah manifestasi atau penjelmaan Tuhan. Islam juga tidak mengenal konsep anak Tuhan. Islam juga menolak secara tegas bahwa ada yang setara dengan Allāh Ta’ala dan juga perantara dalam beribadah. Konsep ketuhanan dalam Islam sangat jelas, Allāh Ta’ala adalah Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan selain-Nya adalah makhluk dan hamba-Nya, dan Allāh Ta’ala telah menjelaskannya secara gamblang mengenai konsep ketuhanan melalui firman-Nya, Al-Qur’an, sehingga umat Islam dari zaman awal dakwah Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam sampai ribuan tahun kemudian tidak pernah mengalami kebingungan dan pertentangan mengenai konsep ketuhanan.
Karen Armstrong, mantan biarawati yang menjadi penulis tentang berbagai agama, mengakui bahwa umat Islam tidak mengalami problem mendasar tentang konsep ketuhanannya karena mengesampingkan praduga-praduga (dzanna), hal ini menurutnya berbeda dengan konsep Tuhan agama lainnya. (Karen Amstrong, Sejarah Tuhan..., hal. 199-200).
Allāh Subhanahu wa Ta’ala –Maha Suci Dia dan Maha Tinggi- berfirman dalam Surah Al Ikhlash, “Katakanlah, ‘Dialah Allah Yang Esa. Allah tempat bergantung segala sesuatu. Tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tiada yang setara dengan Dia.’”
Kaligrafi 'Arab lafaz Allāh yang dibuat seniman bernama Hāfiz Osman pada masa Kekhalifahan Utsmaniyah di abad ke-17 Masehi
Kata "Allah" disebutkan lebih dari 2.679 kali dalam Al-Qur'an. Sedangkan kata "Tuhan" dalam bahasa Arab
adalah Ilah disebut ulang sebanyak 111 kali dalam bentuk mufrad, ilahaini
dalam bentuk tatsniyah 2 kali dan aalihah dalam bentuk jama' disebut
ulang sebanyak 34 kali.
Banyak
fakta dan pertanyaan yang terkait dengan Allāh. Orang musyrik ‘Arab dulu
ternyata juga meyakini bahwa Allāh adalah pencipta alam
semesta. Namun mengapa mereka digolongkan orang musyrik, bukan orang beriman?
Benarkah
Allāh
dalam Islam sama saja dengan Tuhan dalam agama lain? Apakah semua agama sama?
Apakah Tuhan tiap agama sama? Lantas mengapa banyak orang Kristen (di
Indonesia) juga memakai lafaz Allāh?
Di
mana sebenarnya Dzat Allāh? Di atas langit? Di mana-mana? Atau menyatu
dalam diri hamba?
Etimologi
Beberapa teori
mencoba menganalisa etimologi dari kata "Allāh". Salah satunya
mengatakan bahwa kata Allāh berasal dari gabungan dari kata al- (sang) dan ilāh (tuhan) sehingga berarti "Sang Tuhan". Namun teori
ini menyalahi bahasa dan kaidah bahasa ‘Arab. Bentuk ma'rifat (definitif) dari ilah adalah
al-ilah, bukan Allāh. Dengan demikian kata al-ilah juga dikenal dalam
bahasa Arab. Penggunaan kata tersebut misalnya oleh Abul A'la al-Maududi dalam Mushthalahatul
Arba'ah fil Qur'an (h. 13) dan Syaikh Abdul Qadir Syaibah Hamad dalam al-Adyan
wal Furuq wal Dzahibul Mu'ashirah (h. 54). Kedua penulis
tersebut bukannya menggunakan kata Allāh, melainkan al-ilah sebagai bentuk
ma'rifat dari ilah.
Dalam bahasa ‘Arab pun
dikenal kaidah, setiap isim (kata
benda atau kata sifat) nakiroh (umum)
yang mempunyai bentuk mutsanna (dua)
dan jamak, maka isim ma'rifat kata
itupun mempunyai bentuk mutsanna dan
jamak. Sebagai catatan, kata dalam bahasa
‘Arab memiliki bentuk tunggal, mutsanna
(dua), dan jamak. Berbeda dengan bahasa Inggris yang hanya mengenal bentuk single (tunggal) dan plural (jamak).
Hal ini tidak
berlaku untuk kata Allāh, kata ini tidak mempunyai bentuk ma'rifat mutsanna dan
jamak. Sedangkan kata ilah mempunyai bentuk ma'rifat baik mutsanna (yaitu
al-ilahani atau al-ilahaini) maupun jamak (yaitu al-alihah). Dengan demikian kata al-ilah dan Allāh adalah dua kata
yang berbeda.
Teori lain mengatakan kata ini berasal dari kata bahasa Aram Alāhā. Cendekiawan muslim terkadang menerjemahkan Allāh menjadi "God" dalam bahasa Inggris. Namun demikian, sebagian umat Islam yang lain menyatakan bahwa lafaz Allāh tidak untuk diterjemahkan, dengan
berargumen bahwa kata tersebut khusus dan agung sehingga mesti dijaga, tidak memiliki
bentuk jamak dan gender. Hal ini berbeda dengan God
yang memiliki bentuk jamak Gods dan bentuk feminin Goddess dalam
bahasa Inggris. Isu ini menjadi penting dalam upaya penerjemahan Al-Qur'an.
Islam dan Tauhid
Mengenai
permasalahan tauhid, ‘ulama’ Islam terdahulu membagi tauhid menjadi tiga macam,
yaitu Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah, dan Asma’ wa Shifat.
Tauhid
Rububiyah adalah beriman bahwa hanya Allah satu-satunya Rabb yang memiliki, merencanakan, menciptakan,
mengatur, memelihara, memberi rezeki, memberikan manfaat, menolak mudharat
serta menjaga seluruh alam semesta.
Taudid
Uluhiyah berarti meyakini bahwa
segala bentuk ibadah hanya ditujukan kepada Allāh Subhanahu wa Ta’ala
sesuai dengan apa yang diajarkan-Nya kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa
salam. Islam juga tidak mengenal perantara dalam ibadah seperti yang dikenal
dalam kepercayaan agama lain. Tauhid ini terangkum dalam Surah Al-Fatihah ayat
kelima.
“Hanya
kepada-Mu lah kami menyembah dan hanya
kepada-Mu lah kami memohon pertolongan.”
Tauhid
Asma’ wa Shifat adalah beriman
bahwa Allāh memiliki nama dan sifat baik (asma'ul husna) yang sesuai dengan keagunganNya. Umat Islam mengenal
99 asma'ul husna yang merupakan nama sekaligus sifat Allāh.
Meyakini
tauhid Rububiyah saja tak lantas menjadikan seseorang dianggap Islam. Dalam Surah
Az-Zumar ayat 62 dijelaskan bahwa orang musyrik pun juga mengakui tauhid
Rububiyah. Orang musryrik dan bahkan Iblis pun mengakui bahwa Allah adalah Maha Pencipta. Namun begitu, mereka tidak beriman karena mereka tidak mengesakan Allah dalam beribadah. Seperti menyembah yang lain selain menyembah Allah. Seseorang baru digolongkan beriman jika juga meyakini dan
mengamalkan tauhid Uluhiyah, artinya mengesakan Allāh
dalam beribadah.
Keberadaan Allāh
Banyak
ayat Al-Qur’an dan Hadits yang menyatakan bahwa dzat Allāh Subhanahu wa Ta’ala
adalah di atas langit dan bersemayam di atas ‘Arsy (Singgasana). Langit, yang bahasa ‘Arabnya adalah sama’, bisa diartikan sebagai langit
yang ada di sekitar bumi, dapat juga diartikan sebagai seluruh alam semesta.
Dalil
Al-Qur’an dan Hadits yang menyatakan hal tersebut di antaranya,
“
Apakah kamu
merasa aman terhadap Allāh yang di langit, bahwa Dia dapat
menjungkirbalikkan bumi bersama kamu…” {QS. Al-Mulk (67) :
16-17}
“Mereka
takut kepada Rabb mereka yang di atas mereka…”
{QS. An-Nahl (16) : 50}
“Sesungguhnya
Rabb kamu ialah Allah yang telah menciptakan bumi dalam enam masa, lalu Dia
bersemayam di atas ‘Arsy…”
{QS. Al-A’raf (07) : 54}
Dan sabda Rasulullah s’aw saat
menjampi orang sakit,”Rabb kami yang
berada di atas langit…” {HR. Abu Dawud}
Rasulullah Muhammad s’aw berkata
saat wukuf di Arafah,”Ya Allāh, saksikanlah.”
Beliau memberi isyarat dengan jari telunjuknya ke arah langit. Riwayat
ini dikukuhkan dalam Shahih Muslim dari hadits Jabir.
Dalam sebuah hadits, beliau
bertanya kepada seorang wanita,”Di
manakah Allāh?” wanita
tersebut menjawab,”Di atas langit.”
Nabi Muhammad s’aw bersabda,”Merdekakanlah
ia, karena ia seorang beriman.”
Sedangkan ayat yang menyakan bahwa Allah
lebih dekat dengan kita daripada urat leher kita sendiri adalah pengawasan Allāh, bukan Dzat Allāh.
Allāh = Tuhan dalam Agama Lain?
Beberapa kalangan menilai bahwa Allāh dalam Islam sama dengan Tuhan dalam
agama-agama lain. Perbedaan yang ada hanyalah dalam masalah penyebutan nama
semata. Mereka berpandangan bahwa semua agama hanyalah jalan yang kesemuanya
bermuara kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Namun sebenarnya, pandangan tersebut
berseberangan dengan realita bahwa agama di luar Islam memiliki konsep
ketuhanan yang sama sekali berbeda dengan Islam, sehingga mustahil dilakukan
penyamaan.
Allāh dan Orang Musyrik ‘Arab
Walaupun di masa jahiliyah bangsa ‘Arab
mayoritas menyembah berhala, mereka tetap percaya bahwa Allāh adalah Maha Pencipta. Maksud penyembahan
berhala yang dilakukan oleh orang musyrik adalah bahwa mereka berdo’a kepada
berhala agar berhala-berhala tersebut menyampaikan do’a mereka kepada Allāh.
Mereka menyamakan hal ini dengan etika
berbicara kepada Raja. Seorang rakyat biasa saat hendak menyampaikan sesuatu
kepada Raja, pastinya melalui anak buah dan orang-orang dekat Raja, karena
berbicara langsung kepada Raja merupakan perbuatan tidak sopan. Pemikiran
mereka ini lalu diterapkan saat beribadah kepada Allāh.
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allāh -lah agama yang bersih (dari
syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), ‘Kami
tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah
dengan sedekat- dekatnya.’…”
{QS. Az-Zumar (39) : 3}
Tuhan dalam Kristen
Konsep ketuhanan yang notabene menjadi
pondasi dasar suatu agama sebenarnya menjadi ajang perdebatan ramai di masa
Kristen awal. Namun konsep ketuhan Kristen sekarang mayoritas mengacu pada
Kredo Athanasia, menganut paham Trinitas. Trinitas meyakini bahwa Allah adalah
Tuhan dan disebut Bapa, Yesus (Islam: Nabi ‘Isa ‘alaih as-salam) adalah Tuhan dan disebut Putra, dan Roh Kudus
adalah Tuhan. Sebagai catatan, Roh Kudus dalam Kristen berbeda dengan Malaikat
Jibril. Namun Bapa, Putra, dan Roh Kudus bukanlah tiga tuhan, melainkan mereka
satu Tuhan, Tuhan Yang Maha Esa, kedudukan mereka setara, sama-sama kekal dan
Maha Kuasa.
Beberapa umat Kristen menolak konsep Trinitas
ini. Gereja Mormon misalkan, meyakini bahwa Bapa adalah Tuhan dan Yesus adalah
anak Tuhan. Bapa dan Yesus adalah dua pribadi yang berbeda.
Dalam praktek peribadahan, khususnya dalam
Gereja Katholik Roma, tak jarang menggunakan perantara dalam berdo’a. Seperti
kepada Bunda Maria dan orang-orang suci Katholik lainnya yang biasanya bergelar
santo atau santa.
Penjelasan lebih lanjut mengenai konsep
ketuhanan dalam Kristen dapat dilihat dalam artikel “Yesus, Sudut Pandang Islam”.
Terlepas dari konsep ketuhanan, dalam masalah
yang lebih sederhana dan mendasar, yaitu tentang nama Tuhan, umat Kristen belum
mencapai kata sepakat. Penggunaan lafaz “Allah” dalam Alkitab Kristen di
beberapa negara seperti di Indonesia masih diperdebatkan.
Umat Kristen yang menyetujui penggunaan kata
“Allah” berpandangan bahwa ini hanyalah permasalahan bahasa. Di samping itu,
penggunaan lafaz “Allah” lebih bernilai dipandang dari sudut pandang
misiologis. Artinya, umat Kristen bisa lebih mudah melakukan misi penginjilan
(Kristenisasi) kepada umat Islam. Hal ini karena umat Islam yang lemah iman
akan menyangka bahwa Tuhan Islam dan Kristen adalah sama, terbukti dari nama
yang digunakan, sehingga bukan masalah besar melakukan perpindahan agama.
Sedangkan umat Kristen yang menolak
penggunaan kata “Allah” berargumen bahwa lafaz ini adalah nama Tuhan dalam
Islam sehingga penggunaan lafaz “Allah” merupakan bentuk sinkretisme agama.
Selain dipandang berbeda antara penggambaran Tuhan dalam Islam dan Kristen,
lafaz “Allah” tidak diketemukan dalam bahasa asli Alkitab Kristen. Penggunaan
kata “Allah” juga dianggap melanggar kekudusan nama Tuhan karena Tuhan harus
dipanggil dengan nama yang dikehendaki-Nya. Pihak Kristen di Indonesia yang
kontra dengan penggunaan kata “Allah” menerbitkan
Alkitab sendiri melalui
Yayasan Lentera Bangsa
dgn nama: ILT (Indonesian Literature Translation). Mereka menggunakan kata
“Yahweh”, “Elohim”, “Adonai” untuk merujuk kepada Tuhan dan menghilangkan lafaz
“Allah”.
Di Malaysia, telah ditetapkan pelarangan penggunaan
lafaz “Allah” bagi umat non-muslim. Bahkan pemerintah Malaysia pernah melarang
masuknya Alkitab Kristen beredar lantaran penggunaan lafaz “Allah”.
Tuhan dalam Hindu dan Buddha
Dalam kepercayaan Hindu, Tuhan disebut dengan
Brahman. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh para sarjana, dalam tubuh Agama Hindu terdapat
beberapa konsep ketuhanan, antara lain henoteisme, panteisme, monisme, monoteisme, politeisme, dan bahkan ateisme.
Aum atau Om, suku kata suci dan keramat dalam agama-agama dari India, yaitu agama Hindu, Buddha, dan Jaina. Kata tersebut terdiri dari tiga fonem, [a], [u] dan [m], melambangkan Trimurti atau tiga jenjang kehidupan (kelahiran, kehidupan dan kematan).
Walaupun umat Hindu pada umumnya menganut
monoteisme, Brahman dimanifestasikan dalam berbagai bentuk. Trimurti (Brahma,
Wisnu, Siwa) merupakan manifestasi dari Brahman. Dalam konsep pemeluknya, Tuhan
juga lah yang mengajarkan secara langsung ajaran Hindu, yang turun menjelma ke
dunia yang disebut Awatara. Kresna dianggap sebagai salah satu penjelmaan Tuhan
puluhan ribu tahun lalu pada zaman Dwaparayuga.
Dewa-dewi dalam kepercayaan Hindu yang sangat
banyak, walaupun dianggap tidak sejajar dan berbeda dengan Tuhan itu sendiri,
kerap menjadi perantara dalam berdo’a dan beribadah. Tak jarang dilakukan
pengorbanan dan penyembelihan dilakukan kepada dewa-dewi tertentu. Unsur
dewa-dewi inilah yang membuat beberapa peneliti berkesimpulan bahwa agama Hindu
beraliran politeisme (banyak Tuhan).
Agama Hindu juga diduga memiliki konsep ateisme,
yaitu terdapat dalam ajaran Samkhya, ajaran filsafat tertua dalam agama Hindu di
India. Filsafat Samkhya dianggap tidak
pernah membicarakan Tuhan dan terciptanya dunia beserta isinya bukan karena campur
tangan Tuhan, melainkan karena pertemuan Purusha dan Prakirti, asal mula segala sesuatu yang tidak berasal dan segala
penyebab namun tidak memiliki penyebab. Ajaran filsafat ateisme
dalam Hindu tersebut tidak ditemui dalam pelaksanaan Agama Hindu Dharma di Indonesia.
Sedangkan Buddha adalah ajaran yang dikaitkan
dengan Siddharta Gautama yang dikenal sebagai Sang Buddha. Agama Buddha tidak
berangkat dari konsep ketuhanan, melainkan empat penglihatan atau empat
kebenaran mulia. Inti ajaran Buddha adalah hidup untuk menderita. Beberapa
bahkan menggolongkan Buddha bukan termasuk agama lantaran ketiadaan konsep
ketuhanan di dalamnya.
Islam dan Ketuhanan Non-Islam
Tidak hanya berbeda
dalam masalah konsep ketuhanan yang merupakan dasar suatu agama, ajaran Islam
dalam Al-Qur’an juga mengkritisi konsep ketuhanan agama lain, sehingga dalam
Islam terdapat istilah kafir, syirik, iman, dan dakwah.
Anak Tuhan
Allāh dalam Al-Qur’an menolak dengan tegas konsep “anak Tuhan” dalam banyak
ayat.
Dalam Surah Al Ikhlash ayat tiga, “(Allāh) Tidak beranak dan tidak
diperanakkan.”
Dalam Surah Maryam ayat 35 dan ayat 88 sampai
93, “Tidak layak bagi Allāh mempunyai anak, Maha Suci Dia.
Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya,
‘Jadilah!’, maka jadilah ia.”
“Dan
mereka berkata, "Tuhan yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak’. [88] Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu
perkara yang sangat mungkar, [89] Hampir-hampir
langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh,[90] karena mereka menda'wakan Allāh yang Maha Pemurah mempunyai anak.[91] dan
tidak layak bagi Tuhan yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. [92] tidak ada seorangpun di langit dan di bumi,
kecuali akan datang kepada Tuhan yang Maha Pemurah selaku seorang hamba.” [93]
Dalam Surah An Nisa’ ayat 171, “…Sesungguhnya Allāh Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allāh dari mempunyai anak, segala yang
di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya…”
Dalam
Surah Al Kahfi ayat empat dan lima, “Dan
untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata, ‘Allāh mengambil seorang anak.’ Mereka
sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek
moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka;
mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.”
Dalam
Surah Al Isra’ ayat ke 111, “Dan
katakanlah, ‘Segala puji bagi Allāh
Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia
bukan pula hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan
yang sebesar-besarnya.’”
Dalam
Surah At Taubah ayat 30, “Orang-orang
Yahudi berkata, ‘Uzair itu putera Allāh’
dan orang-orang Nasrani berkata, ‘Al Masih itu putera Allāh.’ Demikianlah itu ucapan mereka
dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu.
Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling?”
Dari ayat-ayat Al-Qur’an yang telah
dipaparkan menjadi argumen yang sangat lugas dan gamblang bahwa konsep
ketuhanan Islam berseberangan dengan konsep ketuhanan lain yang mengklaim bahwa
Tuhan memiliki anak dan keturunan, seperti dalam agama Kristiani yang meyakini
bahwa Nabi ‘Isa ‘alaih as salam
sebagai anak Tuhan.
Tiga Tuhan Satu Tuhan
Dalam Surah An Nisa’ ayat 171, “…Maka berimanlah kamu
kepada Allāh dan rasul-rasul-Nya
dan janganlah kamu mengatakan, ‘(Tuhan itu) tiga’, berhentilah (dari ucapan
itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allāh Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci
Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya.
Cukuplah Allāh menjadi Pemelihara.”
Allāh juga berfirman dalam Surah Al Ma-idah ayat
ke 73 tentang pengingkaran konsep satu Tuhan sama dengan tiga Tuhan, “Sesungguhnya kafirlah orang-orang
yang mengatakan, ‘Bahwasanya Allāh
salah seorang dari yang tiga’, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari
Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu,
pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.’”
Dalam Surah Al Ikhlash ayat keempat, “Dan tiada yang setara dengan Dia.”
Dari ketiga ayat Al-Qur’an sebelumnya
menegaskan bahwa Islam menolak konsep Tritunggal, baik dari agama Kristen
(Bapa, Putra, Roh Kudus), Hindu (Brahma, Wisnu, Syiwa) maupun bentuk Tritunggal
lain.
Dalam konsep Tritunggal, Tuhan terdiri dari
tiga pribadi. Hal ini dibantah Allāh dalam Surah An Nisa’ dan Al Ma-idah. Dalam konsep
Tritunggal juga terdapat penyetaraan antara tiga pribadi Tuhan. Dalam Kristen,
kedudukan Bapa setara dengan Putra (Yesus) dan Roh Kudus. Konsep ini ditolak
dalam Surah Al Ikhlash ayat terakhir bahwa tidak ada yang setara dengan Allāh.
Penjelmaan Tuhan
Banyak agama menyatakan bahwa Tuhan turun ke
dunia dan bereinkarnasi menjadi manusia, membimbing manusia secara langsung,
dan terkadang harus mengalami kematian hingga bangkit kembali untuk menebus
dosa manusia.
Dalam Surah Al Ikhlash
ayat keempat, “Dan tiada yang setara
dengan Dia.” Dalam ayat Kursi, Surah Al Baqarah ayat 255, “Allāh,
tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi
terus menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur.”
Dalam Surah Al Ma-idah ayat 72 dan75,
“Sesungguhnya
telah kafirlah orang-orang yang berkata, ‘Sesungguhnya Allāh ialah Al Masih
putera Maryam…’”
[72]
“Al Masih putera Maryam
itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa
rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan
makanan.” [75]
Dalam
ayat-ayat ini, Allāh membantah konsep
penjelmaan Tuhan. Dalam konsep penjelmaan Tuhan menjadi manusia, seringkali
‘jelmaan Tuhan’ tersebut makan, minum, tidur, dan bahkan mati (walaupun
terdapat konsep ‘kebangkitan kembali’) layaknya manusia. Hal-hal tersebut tidak
dapat diatributkan kepada Allāh
Yang Maha Tinggi. Seperti dalam konsep Tritunggal Kristen bahwa Al Masih ‘Isa
ibn Maryam adalah Tuhan itu sendiri yang turun ke dunia untuk menebus dosa
manusia, juga dalam agama Hindu yang memandang Kresna sebagai Tuhan itu
sendiri. Sosok yang dianggap Tuhan tersebut juga digambarkan makan, minum, dan tidur.
Kresna dalam Hindu bahkan memiliki 16.000 istri lebih.
Dalam
Surah Al Ma-idah ayat 72 dijelaskan bahwa Islam tidak menyepakati konsep bahwa
Al Masih adalah Tuhan itu sendiri. Hal ini juga dapat diterapkan dalam agama
dan kepercayaan lain yang memiliki konsep “penjelmaan Tuhan”.
Perantara dalam Beribadah
Islam menolak konsep perantara dalam ibadah.
Dalam hal ini Allāh
berfirman dalam Surah Yunus ayat kedelapan belas, “Dan
mereka menyembah selain daripada Allāh
apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan,
dan mereka berkata, ‘Mereka itu adalah pemberi syafa'at kepada kami di sisi Allāh.’ Katakanlah, ‘Apakah kamu
mengabarkan kepada Allāh apa yang tidak
diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) dibumi?’ Maha Suci Allāh dan Maha Tinggi dan apa yang
mereka mempersekutukan (itu).”
Dari ayat di atas, Allāh Ta’ala menegaskan bahwa konsep perantara dalam ibadah termasuk kategori syirik. Seperti praktek pengagungan berhala oleh orang musyrik ‘Arab dulu, umat Kristen dengan praktek do’a melalui orang-orang yang dianggap suci, umat Hindu melalui dewa-dewi, dan praktek lain semacamnya yang menggunakan perantara dalam ibadah.
Kesimpulan
Dari pemaparan sebelumnya dapat diambil kesimpulan bahwa Allāh Ta’ala adalah Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai umat Islam, tidak cukup hanya meyakini bahwa Allāh Ta’ala Maha Pencipta, tetapi harus diwujudkan dengan mengesakan-Nya dalam beribadah dan menjauhi segala bentuk kesyirikan.
Konsep “semua agama satu Tuhan” juga terbantah dengan kajian mendalam mengenai konsep ketuhanan dalam berbagai agama. Konsep ketuhanan, suatu hal paling mendasar dari suatu agama, terbukti saling bertolak belakang antara Islam dengan agama lain menyimpulkan bahwa Islam dengan agama lain tidak bisa disamakan. Terlebih Allāh Ta’ala mengkritisi secara langsung konsep ketuhanan di luar Islam.
Keesaan Tuhan dalam Islam tidak termanifestasi dalam berbagai bentuk. Islam tidak mengenal istilah manifestasi atau penjelmaan Tuhan. Islam juga tidak mengenal konsep anak Tuhan. Islam juga menolak secara tegas bahwa ada yang setara dengan Allāh Ta’ala dan juga perantara dalam beribadah. Konsep ketuhanan dalam Islam sangat jelas, Allāh Ta’ala adalah Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan selain-Nya adalah makhluk dan hamba-Nya, dan Allāh Ta’ala telah menjelaskannya secara gamblang mengenai konsep ketuhanan melalui firman-Nya, Al-Qur’an, sehingga umat Islam dari zaman awal dakwah Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam sampai ribuan tahun kemudian tidak pernah mengalami kebingungan dan pertentangan mengenai konsep ketuhanan.
Karen Armstrong, mantan biarawati yang menjadi penulis tentang berbagai agama, mengakui bahwa umat Islam tidak mengalami problem mendasar tentang konsep ketuhanannya karena mengesampingkan praduga-praduga (dzanna), hal ini menurutnya berbeda dengan konsep Tuhan agama lainnya. (Karen Amstrong, Sejarah Tuhan..., hal. 199-200).
Allāh Subhanahu wa Ta’ala –Maha Suci Dia dan Maha Tinggi- berfirman dalam Surah Al Ikhlash, “Katakanlah, ‘Dialah Allah Yang Esa. Allah tempat bergantung segala sesuatu. Tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tiada yang setara dengan Dia.’”
Dari berbagai sumber.
0 comments :
Posting Komentar