24 Okt 2012

Kita Tak Sama


Sang surya seolah hendak membakar habis dunia. Angin gurun yang kering nan panas berhembus kencang, menerpa dangau pribadi yang ada di sebuah padang gembalaan, membuat dindingnya berderak keras. Di dalam, sang pemilik sedang menyanding air sejuk dan bebuahan tatkala kemudian terlihat sesosok lelaki tinggi besar yang tengah menantang kencangnya angin gurun dan panasnya mentari. Terlihat lelaki itu mengejar dan menggiring seekor anak unta.



“Masya Allah!” seru sang pemilik dangau melihat lelaki tinggi besar itu, “Bukankah itu Amirul Mukminin?!”


Ya, memang tak salah lagi. Sosok yang berlari di tengah gurun itu adalah shahabat Nabi yang bahkan syaithan pun enggan berjalan berpapasan dengannya, ‘Umar ibn Khaththab r’a.

“Ya Amiral Mukminin!” sang pemilik dangau berteriak sekuat tenaga, “Apa yang kau lakukan di tengah angin ganas ini? Masuklah kemari!”

“Seekor unta zakat terpisah dan lepas dari kawanannya. Aku takut Allah akan menanyakannya padaku.” suara khalifah kedua itu menembus deru angin gurun, “Aku harus menangkapnya kembali. Masuklah engkau hai ‘Utsman!”

“Masuklah kemari!” seru ‘Utsman ibn Affan, sang pemilik dangau, “Aku akan menyuruh seorang pembantuku menangkapnya untukmu!”

“Tidak! Masuklah, hai ‘Utsman, badai pasirnya mengganas!”

Badai makin kencang, menebarkan butiran pasir yang membara. ‘Utsman menutup pintu dangaunya dan bergumam, “Demi Allah, benarlah Dia dan Rasul-Nya. engkau memang bagaikan Musa. Seorang yang kuat lagi terpercaya.”

***

Kita tahu, ‘Umar ibn Khaththab dan ‘Utsman ibn ‘Affan adalah dua orang shahabat nabi. Dengan izin Allah Yang Maha Tunggal dan Maha Kuasa, keduanya sama-sama masuk dalam jajaran sepuluh shahabat yang dijamin masuk Jannah (Syurga). Di masa kenabian, mereka berdua sama-sama membela Nabi dengan penuh kesetiaan. Pasca wafatnya Rasulullah Muhammad s’aw, kedua lelaki ini juga menyanding gelar khalifah, ‘Umar sebagai khalifah kedua, dan ‘Utsman sebagai khalifah ketiga. Ya, banyak kesamaan yang ada dalam diri mereka. Namun segala persamaan tersebut tak menafikan perbedaan kontras antara keduanya.

Tumbuh dalam lingkungan Bani Makhzum nan keras dan Bani Adi nan jantan, ‘Umar dari sejak zaman jahiliyyah hingga pasca kenabian, dikenal sosok yang keras, tegas, jantan, dan ringan turun gelanggang. Sifat-sifat ini juga terus dibawa sampai umat menyematkan jabatan khalifah kepadanya.

Sedangkan ‘Utsman, lelaki pemalu yang bahkan malaikat pun juga malu kepadanya, datang dari keluarga Bani Umayyah yang kaya raya dan terbiasa hidup nyaman. Dengan hartanya yang melimpah, kedermawanan adalah jiwa dari khalifah ketiga ini. Tak terhitung jumlah dinar dan dirham yang ia gelontorkan untuk kaum muslimin.

Ya, mereka berbeda. ‘Umar juga sepenuhnya sadar akan perbedaan itu. Itulah alasan ia menyuruh ‘Utsman tak mengikutinya turun ke gurun nan panas. Kedermawanan jiwanya. Andai ia jadi mengutus budaknya, pastilah sang budak dibebaskannya kemudian karena Allah, dan diberinya bertimbun dinar.

***

“Ya Rasulullah,” ujar lelaki tersebut di pembaringan, “Bolehkah aku mewasiatkan seluruh hartaku?” Lelaki tersebut berniat menjadikan seluruh hartanya sebagai infaq di jalan Allah.

“Jangan.” Jawab Rasulullah sembari menggeleng.

“Bagaimana jika dua pertiganya?” lelaki tersebut menawar.

“Jangan.”

“Bagaimana jika separuhnya yang aku wasiatkan?”

“Jangan.”

“Bagaimana jika sepertiganya.”

“Sepertiga itu sudah merupakan jumlah yang banyak. Hai Sa’d,” ujar Rasulullah, “Sesungguhnya engkau tinggalkan keluargamu dalam keadaan kaya dan mampu adalah lebih baik daripada kau tinggalkan mereka dalam keadaan fakir dan meminta-minta.”

Penggalan dialog antara Sa’d ibn Abi Waqqash dengan sang penutup para Nabi ini mungkin menyisakan tanya. Saat Abu Bakar Ash-Shiddiq membawa seluruh hartanya, Nabi menerima dengan tangan terbuka. Namun tak demikian saat Sa’d melakukan hal yang sama. Ada beberapa teori yang berusaha menerka alasan di balik sikap Rasulullah s’aw yang berbeda ini.

Pertama, kapabilitas dalam menjemput rezeki. Abu Bakar adalah seorang shahabat yang memiliki niagawan yang dikenal jujur, amanah, cerdas, professional, dan mumpuni. Dia memiliki wawasan dan jaringan dagang yang luas sehingga tak pernah terputus sumber rezekinya. Saat kehabisan uang pun, berduyun-duyun orang menyerahkan modalnya untuk dikelola. Tidak banyak shahabat lain yang seperti Abu Bakar dalam masalah ini.

Kedua, faktor keluarga. Dalam segi pewarisan nilai keimanan dan ke-Islam-an, keluarga Abu Bakar Ash-Shiddiq bisa dikata telah dididik sedemikian rupa untuk kokoh dalam iman dan keikhlasan dalam berkorban di jalan-Nya. Seperti putri beliau, Asma’ binti Abu Bakar, berjuang mengantarkan makanan pada Nabi s’aw dan ayahnya di bukit, menjaga dan merawat kakeknya, dan berani tetap bungkam saat orang-orang kafir Makkah menanyakan keberadaan Nabi s’aw, hingga ia terkena tamparan yang membuat antingnya terlepas. Padahal saat itu, Asma’ sedang hamils.

Untuk sekedar perbandingan, hampir tak ada catatan miring tentang keluarga Abu Bakar dalam generasi selanjutnya. Sedangkan dalam keluarga Sa’d, di generasi kedua telah ada putranya, ‘Umar ibn Sa’d yang berandil besar dalam pembantaian Al-Hushain ibn ‘Ali ibn Abi Thalib dan keluarganya di Karbala.

***

Dari berbagai penggalan kisah tadi kita bisa mengambil pelajaran berharga. Tak ada odua orang yang sama persis. Tiap diri memiliki keunikannya masing-masing. Kita tak bisa serta merta menyamakan mereka, menuntut tiap diri melakukan hal yang sama. Bahkan dalam permasalahan yang sama, tiap orang memiliki kemampuan tersendiri dalam menyelesaikannya. Tiap diri memang sudah tercipta memiliki spesialisasinya masing-masing. Dan dalam dekapan ukhuwah, masing-masing ciri khas itu bukan untuk saling bersombong dan bertinggi hati, namun untuk saling melengkapi.


Bila Salah

Dengan adanya perbedaan tersebut, apakah kita memaklumi tiap orang yang berbuat salah, dengan alasan bahwa tiap orang punya sifat masing-masing yang tak bisa dipaksakan untuk diubah?

Dulu saat Nabi dan para shahabatnya sedang berada di masjid, tiba-tiba aja ada orang ‘Arab Badui (kalo bahasa kita ya “wong ndeso” lah istilahnya) yang masuk masjid dan, ups, dia buang air kecil di salah satu sudut masjid. Melihat hal itu, jelas para shahabat langsung berusaha menghardik orang Badui tersebut. Tapi Nabi Muhammad s’aw justru mencegah para shahabat dan membiarkan Badui tersebut menyelesaikan hajatnya. Setelah selesai, Nabi mendekati orang Badui tersebut dan menasehatinya dengan lembut,”Sungguh, masjid ini tidak selayaknya dikencingi atau dikotori. Sesungguhnya ia hanya diperuntukkan untuk shalat dan membaca Al-Qur’an.” Mendengar nasehat Nabi tersebut, sang Badui tersebut terpesona dan berkata, ”Ya Allah, sayangilah diriku dan Muhammad dan jangan sayangi yang selain kami berdua.” Yang dilakukan oleh Nabi sangat tepat, karena Badui tadi memang nggak tau apa gunanya masjid, maka Nabi memberitahunya dengan halus, bukan justru menghardiknya.

Dari sini kita bisa mengambil kesimpulan. Memang benar tiap pribadi memiliki ciri khas masing-masing. Akan tetapi, tak pantas menjadikan “ciri khas” tersebut untuk kedok dalam melakukan kesalahan. Ukuran salah dan benar tentunya bersumber dari ajaran Islam.

Walau begitu, kita tetap menyesuaikan tiap diri manusia saat hendak menasehati seseorang yang berbuat salah. Seperti dalam sejarah Badui yang kencing di masjid. Nabi Muhammad s’aw mengetahui latar belakang sang Badui yang belum memahami Islam. Oleh karenanya, Nabi menasehati beliau dengan lemah lembut yang menjadikan hati sang Badui tersentuh.

Kesimpulannya, jadikanlah berbagai perbedaan tersebut untuk saling melengkapi.

Referensi : Fillah, Salim A., Dalam Dekapan Ukhuwah.

0 comments :

Posting Komentar