Kristolog Irena Handono
mengatakan, kasus SMK Grafika Desa Putera memberikan pelajaran bahwa
kita sebagai orang tua harus waspada. Tentu sangat disesalkan, kalau
sampai orang tua tidak mengetahui, ke mana harus menyekolahkan anaknya. Tetapi sebelum itu, apa yang terjadi dengan SMK Grafika Desa Putra?
Sejak 1970, sekitar 70 persen, siswa Muslim yang sekolah di SMK
Grafika Desa Putera tidak mendapatkan haknya untuk mendapatkan pelajaran
agama Islam. Ironisnya, siswa muslim itu malah berdoa, mengikuti ujian
dan praktik agama Katolik.
Hal itu terungkap dalam sebuah diskusi publik “Muslim Menggugat! Pendangkalan Akidah ala SMK Grafika Desa Putera”, Ahad (25/3) pagi di Masjid Al-Birru, Simpang Tiga, Jl. M Kahfi, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Kegiatan yang diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
Jagakarsa itu menghadirkan sejumlah pembicara, yakni: Ace Suhaeri (Tokoh
Masyarakat Jagakarsa), Andreas Ibrahim (Mantan Pendeta), Saharuddin
Daming (Komisioner Komnas HAM), Mujiyanto (Redpel Media Umat).
H Ace Suhaeri yang juga seorang guru SMK Borobudur, Cilandak KKO,
Jakarta Selatan ini, menyaksikan sendiri, ketika ia ditugaskan untuk
mengawasi ujian nasional di SMK yang bernaung pada Yayasan Budi Mulia
Lourdes itu. Sesaat sebelum ujian nasional (UN) di mulai di SMK Grafika
Desa Putra, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, salah seorang
siswa berdiri untuk memimpin doa sekitar 20 siswa yang hendak ujian,
dengan cara berdoa ala Kristiani (doa trinitas dengan tangan ke kepala
dan bahu).
Ace penasaran dan ingin tahu, apakah ada di antara siswa di kelas itu
yang beragama Islam. Ketika ditanya, “Apakah kalian semuanya beragama
Kristen?” pancing Ace. Namun, betapa kagetnya Ace, ketika mendengar
jawaban salah seorang siswa. “Tidak, bahkan di ruangan ini semuanya
Muslim!” ungkap siswa yang ditanya.
Ace pun bertanya lagi, mengapa kalian berdoanya seperti itu. “Emang
Pak kalau di sini wajib doa sebelum belajar, ya seperti ini doanya,”
jawab salah seorang siswa. Ace juga mempertanyakan jumlah siswa yang
beragama Katolik di SMK tersebut. Seorang siswa menjelaskan, “Jumlah
siswa Katolik yang sekolah disini sedikit Pak, kalau ditotal paling cuma
lima persen saja!” jawabnya.
Tahun berikutnya, Ace pun ditugaskan untuk memeriksa jawaban
pelajaran agama ujian akhir sekolah (UAS) di SMK yang sama. Ia langsung
menolak mentah-mentah memeriksa sekitar 108 lembar jawabnya, lantaran
seluruh lembar jawabnya tidak satu pun lembar jawab pelajaran agama
Islam, semua Katolik. Padahal dari sekitar 108 peserta ujian tulis itu
sekitar 76 siswanya beragama Islam.
“Saya kan kaget, sementara siswa saya di SMK Borobudur yang siswa
Kristennya dua orang saja, pelajaran agamanya diserahkan kepada
Pendeta,” ungkapnya. Dan yang membuat Ace terkaget-kaget adalah
praktik ujian agama untuk siswa Muslimnya pun bukan shalat atau baca Al
Qur’an, tetapi membuat cerita dari Bibel.
Hingga saat ini pemurtadan terus berlangsung di SMK Grafika Desa Putera.
“Betapa pentingnya sekolah yang Islami.Sekarang sekolah Islam yang
berkualitas, bermutu tinggi, dan bergedung bagus, banyak, Alhamdulillah.
Tetapi, bagaimana dengan umat yang tidak mampu? Itu yang juga harus
menjadi perhatian kita,” kata mantan biarawawi Irena yang telah muallaf.
Irena mengatakan, jika kita tidak peduli terhadap saudara-saudara
kita yang fakir dan miskin, maka mereka akan dididik dan diarahkan oleh
para misionaris, dengan pelajaran agama Kristen, ujian dan ulangan
sampai diharuskan menghafal pelajaran-pelajaran agama Kristen.
Selain Desa Putera, apakah sekolah-sekolah di bawah naungan yayasan
Kristen lainnya berpola sama? Irena menjelaskan, kalau di sekolah yang
nyata-nyata memasang bendera Kristen, tentu mereka menjalankan visi-misi
Kristennya. Ada kewajiban, setiap siswa yang belajar di sekolah
Kristen itu harus masuk ke gereja setiap bulannya. “Rata-rata, semuanya
begitu, di manapun, mulai dari Jakarta sampai ke ujung-ujung.”
Irena yang berpendidikan Institut Filsafat Teologia Katolik
(Seminari Agung) memberi contoh, sekolah-sekolah Kristen di Jakarta,
seperti Vincentius, Ursula, semuanya sama. Begitu pula di Surabaya,
seperti Santarisa, Gabriel, Santa Anis, Santa Maria, Vanlue, termasuk di
tempat Irena dahulu mengecap pendidikan.
Ketika ditanya, mengapa orang Islam menyekolahkan anaknya ke sekolah
Kristen? Kata Irena, boleh jadi karena pandangan orang tua, bahwa
sekolah tersebut terkenal disiplin dan mutunya yang tinggi. Untuk
belajar di sekolah Kristen, pihak sekolah tentu memberi persyaratan
kepada siswa muslim, yaitu mereka akan mendapat pengajaran agama Kristen
atau Katolik, termasuk ujian dan ulangannya, bahkan ke gereja setiap
satu bulan sekali.
Maraji' : http://www.voa-islam.com
0 comments :
Posting Komentar