“…Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami
pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)…”
{QS. Ali ‘Imran (03): 140}
Setidaknya, ada beberapa faktor yang menjadikan
Kesultanan Turki Utsmani mengalami stagnasi, bahkan sampai runtuh.
Pertama, ketidak cakapan pewaris
tahta sultan.
Sepeninggal Sultan Suleiman I yang
wafat tahun 1566, kebanyakan sultan yang naik tahta adalah sultan yang lemah
dan kurang cakap. Inilah yang membuat militer Yennisari-yang dibentuk
Sultan Ourkhan-saat itu memberontak (1525, 1632, 1727, dan 1826), sehingga
mereka dibubarkan (1785). Selain itu, majemuknya rakyat dari segi agama, etnik
dan mazhab perlu penguasa berintelektual kuat. Sehingga, para pemimpin lemah
ini memicu pemberontakan kaum Druz yang dipimpin Fakhruddin
bin al-Ma'ni.
Ini yang
membuat politik luar negeri khilafah-dakwah dan jihad-berhenti sejak abad
ke-17, sehingga Yennisari membesar, lebih dari pasukan dan pegawai pemerintah
biasa, sementara pemasukan negara merosot. Ini membuat khilafah terpuruk karena
suap dan korupsi. Para wali dan pegawai tinggi memanfaatkan jabatannya untuk
jadi penjilat dan penumpuk harta.
Hal ini
sebenarnya bisa diatasi dengan sistem kekhalifahan yang diterapkan pada masa
Khulafaur Rasyidin. Sistem pengangkatan pemimpin atas dasar kecakapan yang
dipilih berdasarkan musyawarah para ahli agama dan negara, bukan hanya pada
garis keturunan semata. Walaupun setelah masa Khulafaur Rasyidin para pemimpin
negeri Islam terkadang masih bergelar khalifah, namun sejatinya sistem
kepemimpinannya lebih mirip kerajaan.
Walaupun
begitu, tak serta merta pondasi negeri-negeri Islam runtuh saat pergantian
sistem yang lebih mirip kerajaan tersebut. Dengan kaderisasi calon pemimpin
dalam hal agama dan perpolitikan, hal tersebut dapat dihindadi. Contoh nyatanya
adalah khalifah ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz yang merupakan salah satu penguasa dari
Dinasti Umayyah yang terkenal dengan pemahaman agamanya yang baik. Dari
Kesultanan Turki Utsmani sendiri, Sultan Mehmed II atau juga dikenal sebagai
Muhammad Al-Fatih juga merupakan sultan yang baik agamanya dan cakap dalam
politik dan kemiliteran.
Kedua,
kebangkitan kerajaan-kerajaan Eropa.
Berbagai
penemuan dalam bidang sains menjadi sokongan besar bagi kekuatan kemiliteran
kerajaan-kerajaan Eropa. Penemuan jalur laut yang langsung menuju daerah
rempah-rempah (Indonesia dan sekitarnya sekarang) menjadikan berkurangnya
kontrol monopoli jalur perdagangan dari Asia oleh kesultanan Utsmani. Ini
membuat mata uang khilafah tertekan, sementara sumber pendapatan negara seperti
tambang, tak bisa menutupi kebutuhan uang yang terus meningkat. Murad IV (1612-1640),
yang menaklukkan Yereva tahun 1635 dan Baghdad tahun
1639 dari kesultanan Safavid, adalah
satu-satunya Sultan yang menunjukkan kontrol militer dan politik yang kuat di
dalam kesultanan. Murad IV merupakan
Sultan terakhir yang memimpin pasukannya maju ke medan perang.
Pada
tahun 1697 M, Austria dipimpin oleh Eugene du Savoy menyerbu wilayah Kesultanan
Utsmani dan memperoleh kemenangan. Walaupun Perjanjian Karlowitz pada tahun
1699 M mengakhiri perang, namun Kesultanan Utsmani mengalami kekalahan besar
hingga mundur dari semenanjung Balkan. Ini merupakan awal berkurangnya wilayah
Turki Utsmani.
Ketiga,
mulai masuknya pengaruh barat.
Berbagai
pergerakan masyarakat di Eropa dalam upaya melawan kerajaan Eropa yang tirani
dan pihak gereja yang menyalahgunakan wewenang dengan mengatasnamakan Tuhan
menjadikan munculnya berbagai faham, di antaranya nasionalisme, sekulerisme,
liberalisme, sosialisme, dan bahkan ateisme.
Berbagai
faham yang sejatinya tidak sejalan dan tidak dibutuhkan oleh masyarakat Islam
tersebut justru turut menyebar dalam tubuh kesultanan Utsmani. Kesultanan
Utsmani yang pada mulanya kokoh dalam membina masyarakat multi-etnis dan
multi-religius ini mulai goyah akibat menyebarnya faham nasionalisme di
tengah-tengah tubuh kesultanan Utsmani. Para misionaris pun turut mengambil
peran dalam penyebaran faham ini.
Pada saat itu, penguasa dan syaikhul
Islam mulai terbuka terhadap demokrasi lewat fatwa syaikhul Islam
yang kontroversi. Malah, setelah terbentuk Dewan Tanzimat (1839 M) semakin
kokohlah pemikiran Barat, setelah disusunnya beberapa UU, seperti UU Acara
Pidana (1840), dan UU Dagang (1850), tambah rumusan Konstitusi 1876 oleh
Gerakan Turki Muda, yang berusaha membatasi fungsi dan kewenangan kholifah.
Keempat, permasalahan
dalam memahami dan menerapkan Islam.
Hal ini
bisa dikata merupakan faktor utama Kesultanan Utsmani memasuki masa stagnasi.
Merebaknya
gerakan konservatif dalam bidang keagamaan menjadikan terhambatnya berbagai
perkembangan iptek, seperti yang terjadi pada Eropa saat kekuasaan gereja
mendominasi semua lini kehidupan pada abad pertengahan. Hal ini sebenarnya
tidak sejalan dengan prinsip Islam yang selalu mendorong umatnya untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan.
Lunturnya
semangat dakwah dan jihad dalam diri Sultan dan masyarakat Utsmani secara umum
menjadikan perkembangan Kesultanan Utsmani terhenti. Ini terlihat saat Sultan Abdul
Hamid I / Sultan Abdul Hamid Khan meminta Syekh al-Azhar membaca Shahihul Bukhori di al-Azhar agar Allah SWT
memenangkannya atas Rusia (1788). Sultanpun meminta Gubernur Mesir saat itu
agar memilih 10 ulama dari seluruh mazhab membaca kitab itu tiap hari.
Terkait permasalahan ini, ada hal
menarik dengan kaitannya dengan kemunduran kesultanan Turki Utsmani karena
faktor agama, yaitu munculnya Syaikh Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab. Masih terjadi
simpang siur hingga saat ini mengenai status syaikh tersebut.
Versi pertama, Syaikh Muhammad ibn
‘Abdul Wahhab tak lain adalah seorang ‘ulama’ yang berusaha membersihkan dan
memurnikan Islam lantaran pada masa itu Islam mulai tersusupi syirik dengan
praktek pengagungan kubur orang-orang shaleh. Hal ini dapat terlihat dari
banyaknya kubur yang dibangun dengan indah. Dakwah beliau yang muncul pada abad
18 itu bermula dari tanah Najd, daerah bagian tengah Semenanjung Arabia, sebuah
wilayah yang tidak pernah menjadi bagian kesultanan Turki Utsmani. Namun
kesultanan Turki Utsmani yang mendukung praktek pengagungan kubur dengan
mengatasnamakan ibadah tersebut turut menentang gerakan Syaikh Muhammad ibn
‘Abdul Wahhab dan menyiksa para ‘ulama’ yang sejalan dengannya. Bisa dikata,
runtuhnya kesultanan Turki Utsmani karena mereka menentang syari’at Allah SWT
itu sendiri, layaknya kaum muslimin yang kalah saat perang Uhud karena pasukan
pemanah menyalahi aturan Nabi.
Versi kedua. Tak lain dan tak bukan
adalah bahwa Syaikh Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab adalah pelopor aliran garis
keras yang disebut “Wahhabi” dan mengkafirkan setiap orang di luar kelompoknya.
Para pengikut Wahhabi menyiksa para ‘ulama’ yang hidup di zaman tersebut karena
mereka menentang faham Wahhabi. Kesultanan Turki Utsmani kala itu sedikit
banyak turut merasakan tekanan dari aliran Wahhabi sehingga Kesultanan Turki
Utsmani melemah dan akhirnya mengalami keruntuhan.
Kedua versi cerita yang sangat bertolak
belakang ini membutuhkan kajian yang lebih mendalam dalam memutuskan mana yang benar. Seorang muslim
yang tak tahu menahu benar permasalahan ini juga sangat tak pantas memberikan
komentar, terlebih menyalahkan atau membenarkan salah satu versi cerita
tersebut hanya karena ikut-ikutan belaka.
Kesultanan Utsmani di Ambang Keruntuhan
Kekalahan
kesultanan Turki Utsmani dalam Perang Dunia I (1914-1918) menjadikan keadaan
ekonomi dan kesultanan secara umum kian memburuk. Perang ini menjadikan
kesultanan Utsmani bersama tiga dinasti lain yang memiliki akar sejarah sampai
Perang Salib, Habsbrug, Romanov, dan Hohenzollern, di ambang keruntuhan. Di satu
sisi, gerakan untuk membatasi kekuasaan khalifah semakin kuat. Tokoh yang
paling terkenal saat detik-detik berakhirnya kesultanan Turki Utsmani adalah
Mustafa Kemal Pasha.
Sejak tahun 1920,
Mustafa Kemal Pasha
menjadikan Ankara
sebagai pusat aktivitas politiknya. Setelah menguasai Istanbul,
Inggris
menciptakan kevakuman politik, dengan menawan banyak pejabat negara dan menutup
kantor-kantor dengan paksa sehingga bantuan kholifah dan pemerintahannya
mandeg. Instabilitas terjadi di dalam negeri, sementara opini umum menyudutkan
sultan dan memihak kaum nasionalis. Situasi ini dimanfaatkan Mustafa Kemal
Pasha untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional - dan ia menobatkan diri
sebagai ketuanya - sehingga ada 2 pemerintahan; pemerintahan khilafah di Istanbul
dan pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional di Ankara. Walau kedudukannya tambah
kuat, Mustafa Kemal Pasha tetap tak berani membubarkan khilafah. Dewan
Perwakilan Nasional hanya mengusulkan konsep yang memisahkan khilafah dengan
pemerintahan. Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan Perwakilan Nasional,
konsep ini ditolak. Pengusulnyapun mencari alasan membubarkan Dewan Perwakilan
Nasional dengan melibatkannya dalam berbagai kasus pertumpahan darah. Setelah
memuncaknya krisis, Dewan Perwakilan Nasional ini diusulkan agar mengangkat
Mustafa Kemal Pasha sebagai ketua parlemen, yang diharap bisa menyelesaikan
kondisi kritis ini.
Setelah resmi dipilih
jadi ketua parlemen, Pasha mengumumkan
kebijakannya, yaitu mengubah sistem khilafah dengan republik
yang dipimpin seorang presiden
yang dipilih lewat Pemilu.
Tanggal 29 November
1923,
ia dipilih parlemen sebagai presiden pertama Turki.
Namun ambisinya untuk membubarkan khilafah yang telah terkorupsi terintangi. Ia
dianggap murtad,
dan rakyat mendukung Sultan Abdul Mejid II,
serta berusaha mengembalikan kekuasaannya. Ancaman ini tak menyurutkan langkah
Mustafa Kemal Pasha. Malahan, ia menyerang balik dengan taktik politik dan
pemikirannya yang menyebut bahwa penentang sistem republik ialah pengkhianat
bangsa dan ia melakukan teror untuk mempertahankan sistem pemerintahannya. Khalifah
digambarkan sebagai sekutu asing yang harus dienyahkan.
Setelah suasana
negara kondusif, Mustafa Kemal Pasha mengadakan sidang Dewan Perwakilan
Nasional. Tepat 3 Maret
1924
M, ia memecat Sultan Abdul Mejid II sebagai khalifah, membubarkan sistem
khilafah, dan menghapuskan sistem Islam dari negara. Sejak saat itu, Turki
berubah menjadi negara sekuler. Pelarangan adzan menggunakan bahasa ‘Arab,
pelarangan hijab bagi muslimah, penggantian abjad hijaiyah menjadi abjad latin,
dan pergeseran hari libur dari Jum’at ke Ahad merupakan sedikit dari politik
sekulerisasi di Turki kala itu.
Dari sini, kita bisa mengambil kesimpulan penting, terutama dalam gerakan dakwah. Kaderisasi sangat penting guna melanjutkan tongkat estafet dakwah agar fondasi dakwah tidak runtuh. Salah satu penyebab runtuhnya Kesultanan Turki Utsmani adalah kurangnya pemimpin yang cakap dalam masa-masa akhir Kesultanan.
Selain itu, pengokohan terhadap syari'at Islam sangat penting dalam tiap-tiap dalam insan aktivis dakwah agar terhindar dari berbagai faham menyesatkan. Merasuknya berbagai faham yang bertentangan dengan Islam dalam tubuh Kesultanan Utsmani merupakan faktor penting runtuhnya kesultanan tersebut.
Baca Juga : Turki Utsmani : Secercah Kejayaan Islam
ini yang punya blog orang yahudi yahh ?? kok ada bintang david di logo blog nya ????????????
BalasHapusBukan.
HapusAlhamdulillah ini dikelola oleh orang2 100% muslim.
Ada gambar bintang david.nya, itu khan karena artikel.nya membahas masalah Yahudi.
Yang anda maksud apa logo blog ini? Logo blog ini bintang 8, sedangkan bintang david itu bintang enam. Tolong bedakan.
HapusSemoga bisa menjadi pelajaran bagi kita semua.
BalasHapus