16 Mei 2012

History of Dinar & Dirham

Para ahli ekonomi modern setuju bahwa penciptaan mata uang merupakan peristiwa sangat signifikan dalam sejaarah ekonomi umat manusia. Itu berpijak pada landasan kepentingan pengembangan ekonomi; memfasilitasi pembagian tenaga kerja, pendirian industri, pemasaran barang dan jasa dan lain sebagainya.


Pada sisi komersial dan eksistensi social masyarakat, uang merupakan hasil ciptaan yang esensial, di mana segala sesuatunya berpijak pada dasar itu. Uang memiliki berbagai fungsi yang berbeda, seperti sebagai alat tukar nilai, media pertukaran, nilai simpanan dan standar pembayaran yang tertunda. Dalam pandangan ahli ekonomi, fungsi sebagai media pertukaran merupakan yang paling penting. Sebagaimana pernyataan Crowther lagi : “uang harus difungsikan sebagai alat pengukur nilai, medium pertukaran dan simpanan kekayaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa fungsi uang adalah pertama sebagai alat tukar/sehingga dengan uang bisa ditentukan nilai dari suatu transaksi.
 Ibnu Taimiyyah mengatakan : fungsi uang adalah athman (jamaknya thaman adalah harga atau sesuatu yang dibayarkan sebagai pengganti harga). Dimaksudkan sebagai alat tukar dari nilai suatu benda.

Tujuh ratus tahun sebelum Adam Smith menulis buku The Wealth of Nation, seorang ulama bernama Abu Hamid al-Ghazali telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau menjelaskan fungsi uang adalah sebagai alat untuk melancarkan pertukaran dan menetapkan nilai wajar dari pertukaran tersebut. Uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan semua warna.
 Sehingga apabila fungsi dari uang itu sendiri sudah berubah dari esensi dasarnya sehingga mengakibatkan terjadinya inflasi dan deflasi. Di samping itu pula nilai intrinsic yang ada dalam sebuah mata uang sudah tidak sesuai, sehingga mengakibatkan terjadinya permainan dan kolusi.
 Di dalam sejarah Islam belum pernah terjadi krisis seperti yang sekarang terjadi, mata uang memang ralatif stabil manakala nilainya masih disandarkan pada emas. Sejak zaman Nabi SAW hingga Dinasti Ustmaniyah, hanya dikenal uang emas dan perak, uang kertas tidak dikenal sama sekali. Sebenarnya mata uang ini dibentuk dan dicetak oleh kekaisaran Romawi, kata dinar berasal dari kata “Denarius” (Bahasa Romawi Timur), dan dirham berasal dari kata “Drachma” (Bahasa Persia).(Leicester, 1990). Kemudian bangsa Arab mengadopsinya untuk dijadikan system mata uang mereka. Dan sepanjang kehidupannya Nabi SAW tidak pernah merekomendasikan perubahan apapun terhadap mata uang, artinya Nabi SAW dan para sahabat yang menjadi khalifah sesudahnya membenarkan praktek ini.

Dalam prosesnya memang terjadi perubahan, misalkan pada masa Umar, beliau hanya merubah dengan pemberian gambar tambahan bertuliskan alhamdulillah dan dibaliknya bertuliskan Muhammad Rasulullah. Setiap sepuluh dirham beratnya 4 mitsqal. Beliau sempat mencetaknya sampai akhir masa jabatannya, namun belum sempat mencetak uang dinar yang lain. Kemudian di masa khalifah Abdul Malik bin Marwan, dia mencetak mata uang baru dinar dan dirham di bawah pengawasan pemerintah. Dengan bentuk dan karakteristik pencetakan islami dan penggunaan dinar dan dirham ini berakhir seiring dengan runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani pada tahun 1924 bersamaan dengan berakhirnya perang dunia I.
 Secara alamiyah transaksi yang berada di daaerah Mesir atau Syam menggunakan dinar sebagai alat tukar, sementara itu di kekaisaran Persia menggunakan dirham. Ekspansi yang dilakukan Islam ke wilayah kekaisaaran Persia (Irak, Iran, Bahrain dan Transoxania) dan kekaisaran Romawi (Syam, Mesir dan Andalusia) menyebabkan perputaran mata uang ini meningkat. Bahkan pada masa pemerintahan imam Ali, dinar dan dirham merupakan satu-satunya mata uang yang digunakan. Dinar dan dirham dinilai mempunyai nilai yang tetap. Karena itu, tidak ada masalah dalam perputaran uang.
 Dijadikannya uang sebagai alat tukar adalah untuk menghindari transaksi yang merusak. Dimana tanpa adanya nilai dasar dari suatu barang maka akan sulit menentukan berapa nilai suatu barang itu. Misalnya dengan pertukaran barter bisa mengundang niat buruk ke dalam berbagai macam transaksi, dan akibatnya “yang merusak moral” yang ditimbulkan boleh jadi merupakan alasan mengapa Nabi SAW pertukaran barter.

0 comments :

Posting Komentar