3 Jun 2015

WASPADAI “MONSTERISASI” DAN KRIMINALISASI DAKWAH ISLAM


Sebagaimana ramai diberitakan, Kemenkominfo memblokir 19 media Islam online sejak minggu (29/3). Pemblokiran itu didasarkan pada laporan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Oleh BNPT, semua situs Islam tersebut dituding menyebarkan paham radikal (Antara News.com)
Reaksi keras dari berbagai pihak bermunculan. Pemblokiran itu dianggap serampangan dan terkesan menyasar dakwah Islam. Karena reaksi keras masyarakat, Kemenkominfo dan BNPT akhirnya terkesan saling lempar tanggung jawab dan tak mau disalahkan. Kemenkominfo mengaku hanya pelaksana teknis pemblokiran. Pemblokiran dilakukan karena usulan dari BNPT. Sebaliknya BNPT menyatakan bahwa pihaknya hanya melaporkan bahwa ada berita-berita yang dianggap negatif seperti terkait radikalisme kepada Kemenkominfo.
Pemandangan ini menyiratkan cara pemerintah mengatur negeri ini amburadul. Tontonan ini melengkapi permasalahan serupa yang terjadi ketika pemerintahan Jokowi-JK yang baru berlangsung beberapa bulan ini.
Waspadai ‘Monsterisasi’ dan Kriminalisasi Dakwah Islam
Kebijakan pemerintah yang sewenang-wenang dalam memblokir situs dakwah Islam dikhawatirkan menjadi semacam proses ‘monsterisasi’ dan kriminalisasi ajaran dan dakwah Islam. Monsterisasi terjadi karena pemblokiran situs-situs Islam itu dikhawatirkan akan membangun gambaran negatif tentang Islam dan ajarannya. Akibatnya, dalam masyarakat akan tertanam kesan bahwa ajaran Islam seolah monster yang menakutkan.
Tindakan sewenang-wenang pemerintah juga akan menambah daftar kriminalisasi terhadap ajaran, simbol dan dakwah Islam. Hanya karena membawa bendera tauhid, misalnya orang dicap sebagai simpatisan ISIS. Hanya karena memakai cadar, seorang muslimah dicurigai sebagai anggota kelompok radikal, dan lain sebagainya.
Jihad yang merupakan bagian dari ajaran Islam, dianggap sebagai kejahatan. Salah satu kriteria radikal ala BNPT adalah memaknai jihad secara terbatas. Dengan kriteria itu, jihad dalam makna perang dan seruan untuk itu dianggap sebagai tindakan kriminal. Padahal jihad dalam kitab-kitab fikih para fuqaha secara syar’i dimaknai perang di jalan Allah SWT untuk meninggikan kalimat-Nya baik langsung maupun tidak langsung. Memang benar, secara bahasa jihad bermakna mengerahkan segala daya upaya. Namun, menjadikan makna bahasa itu sebagai makna jihad secara syar’i justru akan membelokkan konsep jihad. Sebab jihad itu berkaitan dengan banyak hukum termasuk hukum tentang syahidnya orang yang meninggal dalam keadaan jihad.
Memaknai jihad secara syar’i sebagai perang di jalan Allah SWT tidak serta merta menjadikan orang melakukan tindak kekerasan. Pasalnya, banyak hukum dan ketentuan syariah menjelaskan bagaimana jihad itu dilaksanakan. Menyimpulkan bahwa makna jihad sebagai perang akan mengantarkan orang melakukan kekerasan merupakan kesimpulan yang sembrono atau bodoh.
Pemblokiran situs Islam dan propaganda besar-besaran seputar radikalisme juga akan berpotensi menjadikan masyarakat takut untuk sekedar mendengarkan dakwah Islam melalui pengajian. Lebih buruk lagi jika akhirnya kriminalisasi itu kebablasan, misalnya dengan menganggap seruan penerapan syariah dan penegakan Khilafah ar-Rasyidah sebagai ancaman.

Rahmatan lil Alamin itu menjadi sifat dari Islam secara keseluruhan : akidah, syariah dan hukum-hukumnya termasuk khilafah, jihad, hudud, dll. Karena itu, rahmatan lil alamin secara sempurna hanya akan terwujud ketika Islam secara keseluruhan diterapkan secara nyata di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Penerapan Islam secara menyeluruh itu tidak lain melalui Khilafah ar Rasyidah ‘ala minhaj an Nubuwwah. Dengan demikian justru penerapan syariah secara totalitas dalam institusi Khilafah ar Rasyidah ‘ala minhaj an Nubuwwah itulah yang harus diperjuangkan untuk mewujudkan rahmatan lil alamin. Maka seketika itu pula benar-benar terjadi keberkahan meliputi negeri dari segala sisi. 

0 comments :

Posting Komentar