Sebagaimana
ramai diberitakan, Kemenkominfo memblokir 19 media Islam online sejak minggu
(29/3). Pemblokiran itu didasarkan pada laporan Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT). Oleh BNPT, semua situs Islam tersebut dituding menyebarkan
paham radikal (Antara News.com)
Reaksi
keras dari berbagai pihak bermunculan. Pemblokiran itu dianggap serampangan dan
terkesan menyasar dakwah Islam. Karena reaksi keras masyarakat, Kemenkominfo
dan BNPT akhirnya terkesan saling lempar tanggung jawab dan tak mau disalahkan.
Kemenkominfo mengaku hanya pelaksana teknis pemblokiran. Pemblokiran dilakukan
karena usulan dari BNPT. Sebaliknya BNPT menyatakan bahwa pihaknya hanya
melaporkan bahwa ada berita-berita yang dianggap negatif seperti terkait
radikalisme kepada Kemenkominfo.
Pemandangan
ini menyiratkan cara pemerintah mengatur negeri ini amburadul. Tontonan ini
melengkapi permasalahan serupa yang terjadi ketika pemerintahan Jokowi-JK yang
baru berlangsung beberapa bulan ini.
Waspadai ‘Monsterisasi’
dan Kriminalisasi Dakwah Islam
Kebijakan
pemerintah yang sewenang-wenang dalam memblokir situs dakwah Islam
dikhawatirkan menjadi semacam proses ‘monsterisasi’ dan kriminalisasi ajaran
dan dakwah Islam. Monsterisasi terjadi karena pemblokiran situs-situs Islam itu
dikhawatirkan akan membangun gambaran negatif tentang Islam dan ajarannya.
Akibatnya, dalam masyarakat akan tertanam kesan bahwa ajaran Islam seolah
monster yang menakutkan.
Tindakan
sewenang-wenang pemerintah juga akan menambah daftar kriminalisasi terhadap
ajaran, simbol dan dakwah Islam. Hanya karena membawa bendera tauhid, misalnya
orang dicap sebagai simpatisan ISIS. Hanya karena memakai cadar, seorang
muslimah dicurigai sebagai anggota kelompok radikal, dan lain sebagainya.
Jihad
yang merupakan bagian dari ajaran Islam, dianggap sebagai kejahatan. Salah satu
kriteria radikal ala BNPT adalah memaknai jihad secara terbatas. Dengan
kriteria itu, jihad dalam makna perang dan seruan untuk itu dianggap sebagai
tindakan kriminal. Padahal jihad dalam kitab-kitab fikih para fuqaha secara
syar’i dimaknai perang di jalan Allah SWT untuk meninggikan kalimat-Nya baik
langsung maupun tidak langsung. Memang benar, secara bahasa jihad bermakna
mengerahkan segala daya upaya. Namun, menjadikan makna bahasa itu sebagai makna
jihad secara syar’i justru akan membelokkan konsep jihad. Sebab jihad itu
berkaitan dengan banyak hukum termasuk hukum tentang syahidnya orang yang
meninggal dalam keadaan jihad.
Memaknai
jihad secara syar’i sebagai perang di jalan Allah SWT tidak serta merta
menjadikan orang melakukan tindak kekerasan. Pasalnya, banyak hukum dan
ketentuan syariah menjelaskan bagaimana jihad itu dilaksanakan. Menyimpulkan
bahwa makna jihad sebagai perang akan mengantarkan orang melakukan kekerasan
merupakan kesimpulan yang sembrono atau bodoh.
Pemblokiran
situs Islam dan propaganda besar-besaran seputar radikalisme juga akan
berpotensi menjadikan masyarakat takut untuk sekedar mendengarkan dakwah Islam
melalui pengajian. Lebih buruk lagi jika akhirnya kriminalisasi itu kebablasan,
misalnya dengan menganggap seruan penerapan syariah dan penegakan Khilafah
ar-Rasyidah sebagai ancaman.
Rahmatan
lil Alamin itu menjadi sifat dari Islam secara keseluruhan : akidah, syariah
dan hukum-hukumnya termasuk khilafah, jihad, hudud, dll. Karena itu, rahmatan
lil alamin secara sempurna hanya akan terwujud ketika Islam secara keseluruhan
diterapkan secara nyata di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Penerapan Islam
secara menyeluruh itu tidak lain melalui Khilafah ar Rasyidah ‘ala minhaj an
Nubuwwah. Dengan demikian justru penerapan syariah secara totalitas dalam
institusi Khilafah ar Rasyidah ‘ala minhaj an Nubuwwah itulah yang harus
diperjuangkan untuk mewujudkan rahmatan lil alamin. Maka seketika itu pula
benar-benar terjadi keberkahan meliputi negeri dari segala sisi.
0 comments :
Posting Komentar