7 Okt 2014

Puncak Itu Bernama "Hargo Dumilah"

Foto: Dina Fitria Jabrish
Dari: http://kfk.kompas.com/kfk/view/106605
Saya sendiri adalah salah satu dari sekian banyak orang yang memiliki hobi mendaki gunung. Tapi saya tidak terlalu ambisi untuk menaklukan seluruh gunung di Indonesia apalagi di dunia karena hal ini bukan tujuan hidup saya, ya ini hanya sekadar hobi. Untuk tetap melestarikan alam, untuk menaklukan ego atau kemanjaan diri sendiri, dan untuk selalu mensyukuri keagungan Tuhan akan salah satu ciptaan-Nya. Sebuah tempat tertinggi kali ini bernama “Hargo Dumilah”. Puncak tertinggi Gunung Lawu, terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan ketinggian 3.265 mdpl akan kami taklukan.

7 Agustus 2014, 13 orang berangkat dari Magelang menuju Yogyakarta pukul 04.00 pagi dengan mengendarai sepeda motor menuju stasiun Lempuyangan untuk mengejar kereta Prameks pukul 05.30 yang sesuai tertera di jadwal. Namun, lagi-lagi indahnya Indonesia akan sebuah keterlambatan menghiasi keberangkatan kami pagi itu, kereta datang terlambat. Sesampainya di Solo kami menuju terminal Tirtonadi dan masih menunggu 3 orang teman kami yang berangkat dari Solo. Akhirnya pukul 08.30 kami serombongan berjumlah 16 orang, berangkat dari terminal Tirtonadi menuju terminal Tawangmangu menggunakan bus yang terkenal dengan ugal-ugalannya walaupun jalan menuju terminal Tawangmangu berkelok-kelok. Yang seharusnya kami dapat menikmati perjalanan di kanan kiri jalan, malah dibuat mabuk oleh pak sopir.

Kami tiba di terminal Tawangmangu sekitar pukul 10.30 dan kami pergunakan melepas lelah sebentar serta sarapan. Setelah saya selesai sarapan sebagai orang yang bertanggung jawab memegang uang kelompok segera melakukan negosiasi dengan salah satu sopir mobil Colt yang akan membawa kami ke basecamp Cemoro Sewu Magetan. Setelah selesai melakukan kesepakatan akhirnya kami berangkat dengan menggunakan 1 mobil Colt diisi 16 orang, betapa bahagianya kami. Setelah pak sopir dan tentu mobilnya berjuang mengangkut kami dengan selamat sampai basecamp Cemoro Sewu saya melakukan kesepakatan lainnya dengan pak sopir untuk bersedia mengantar kami sekembalinya dari pendakian hingga stasiun Balapan. Setelah selesai negosiasi kami segera cek kesiapan dan kelengkapan barang bawaan karena jam telah menunjukkan pukul 12.00 siang.

Diawali dengan pengarahan oleh ketua rombongan dan saya sendiri serta diiringi do’a dari seluruh anggota kami berangkat dari basecamp pukul 13.00 Saya dipercaya oleh ketua rombongan untuk menjadi “leader” dalam perjalanan karena carrier yang saya gunakan paling berat di antara anggota lainnya, yaitu sekitar 80 liter. Tapi barang bawaan saya itu tak terasa berat bagi saya karena saya telah terbiasa dengan pekerjaan yang menggunakan fisik.

Jalur pendakian Cemoro Sewu terkenal lebih cepat sampai puncak dibandingkan dengan jalur pendakian satunya, yaitu Cemoro Kandang. Hal ini dikarenakan jalan pendakian Cemoro Kandang lebih landai daripada Cemoro Sewu yang lebih terjal. Karena kami melakukan pendakian dengan rombongan besar, kami sendiri sulit mengorganisasikannya termasuk ketua rombongan yang bertugas sebagai “sweeper”. Di perjalanan kami terlalu sering melakukan istirahat karena lelah. Udara pegunungan yang mulai terasa dingin menusuk pori-pori kulit membuat kami segera mengenakan jaket dan celana tebal.

Setibanya di pos 3 jam menunjukkan pukul 18.00 dan salah satu dari anggota tidak dapat melanjutkan perjalanan. Saya sendiri mengalami dilema untuk melanjutkan perjalanan atau tetap di pos 3 untuk mendirikan tenda, dan pada akhirnya saya putuskan untuk tetap tinggal. Saya pun merekomendasikan pada ketua rombongan untuk seluruh anggota berkemah di pos 3, namun berapa anggota tetap ingin ke pos 5 malam itu juga dan membuat ketua rombongan memutuskan tetap berangkat saat itu juga. Saya tetap pada keputusan sebelumnya karena saya merasa bertanggung jawab terhadap tim ini dan karena saya juga yang membawa 1 dari 3 tenda yang dibawa oleh rombongan.

10 orang melanjutkan perjalanan malam itu juga menuju pos 5, 6 orang tinggal di pos 3 dan segera saya pimpin untuk mendirikan tenda. Udara di pos 3 mulai bertambah dingin dan kami segera memasak bahan makanan karena lapar yang tidak dapat tertahankan lagi. Malam itu juga, diantara menyesal karena tidak dapat melanjutkan perjalanan tapi lebih kecewa lagi karena tim kami tidak kompak bahwa tim kami benar-benar terpisah, saya menumpahkannya dengan aliran air mata yang seharusnya tak perlu. Selesai makan kami mengevaluasi dan segera melakukan tindak lanjut, salah satu anggota yang tidak kuat tersebut tetap tidak mampu kalau besok pagi menuju puncak. Pada akhirnya saya dan 2 orang lainnya tidak ke puncak paginya, sedangkan 3 orang pukul 02.00 berangkat menyusul rombongan besar dan berhasil sampai puncak.

Rombongan besar turun sampai pos 3 pukul 09.00 pagi dan saya melihat wajah ketua rombongan penuh penyesalan, tapi saya meyakinkan bahwa dengan gelagat saya sendiri untuk tidak kecewa dan segera membaur bersama kebahagiaan rombongan. Kami semua melanjutkan perjalanan turun hingga tiba di basecamp Cemoro Sewu pukul 11.00 dan segera melanjutkan perjalanan menuju Kota Solo bersama pak sopir yang telah menunggu kami di basecamp. Sesampainya di stasiun Balapan pukul 15.30 kami berpisah dengan 3 orang yang dari Solo. Kami segera memesan tiket untuk ke Jogja dan melanjutkan perjalanan pulang ke Magelang. Sesampainya di Magelang pukul 21.00 dan bongkar muat barang di rumah saya. Selesai jam 22.00 dan rombongan kembali ke rumah masing-masing dengan ceritanya masing-masing, termasuk saya.

Pada awalnya saya sangat optimis dengan rombongan ini, karena persahabatan kami dibangun sejak kami duduk di bangku SMP. Tetapi saya akhirnya menyimpulkan bahwa persahabatan yang sesungguhnya harus mampu mengorbankan keegoisan masing-masing individu untuk melebur dalam tim atau persahabatan yang telah terbentuk baik secara instan atau berkala. Lebih dari itu bahwa sejatinya pengorbanan itu bukan berdampak pada setiap anggota dari tim, namun pertanggungjawaban kita kelak saat melakukan perjumpaan dengan Tuhan. Pengorbananku saat itu untuk tidak sampai puncak tidak akan sia-sia karena saya tahu itu adalah bentuk pertanggungjawaban sebagai makhluk Tuhan yang tak mampu hidup sendiri.

27 September 2014. Saya, ketua rombongan, satu anggota yang kala itu sampai puncak, satu anggota yang kala itu saya temani di pos 3, dan dua orang pendaki pemula pukul 09.45 telah menyentuh tanah tertinggi di Gunung Lawu. Kami tiba di puncak tertinggi gunung Lawu “Hargo Dumilah” salam dari kami untuk seluruh pendaki dimanapun kalian berada. Di gunung ini, di ketinggian kaki berpijak, di sanalah tempat yang paling damai dan abadi. Dekat dengan Tuhan dan keyakinan diri yang kuat. Saat kaki menginjak ketinggian, tanpa sadar kita hanya bisa berucap bahwa alam memang telah menjawab kebesaran Tuhan. Di sanalah pembuktian diri dari suatu pribadi yang egois dan manja menjadi seorang yang mandiri dan percaya pada kemampuan diri sendiri. Setiap pengorbanan yang kalian lakukan tidak akan sia-sia selama itu membawa manfaat dan untuk kepentingan umat.

Masa lalu memang tidak dapat kita rubah di masa sekarang atau masa mendatang. Akan tetapi, masa lalu dapat kita jadikan pembelajaran untuk melangkah ke masa depan yang lebih baik, untuk membentuk karakter diri yang lebih baik. Kata pepatah, setiap kejadian pasti ada hikmahnya. Selamat datang di duniaku!

Artikel: Harry Sumantri Hartasa
Unedited.

0 comments :

Posting Komentar