Prostitusi, salah satu penyakit masyarakat yang seolah tak kunjung usai. Walau begitu, Walikota
Surabaya, Tri Rismaharini, dengan berani membuat gebrakan dengan merencanakan untuk menutup
tempat-tempat lokalisasi di Kota Pahlawan tersebut, hal yang mungkin terlihat mendekati
mustahil, terlebih di zaman sekarang ini.
Menurut
Risma, menutup kawasan prostitusi sejatinya bukan perkara sulit. Namun, yang
perlu mendapat perhatian lebih dari pemkot yakni pengondisian pascapenutupan.
“Kalau
sekadar menutup, sekarang pun bisa. Tapi masalahnya, kami harus menyiapkan
tindakan pascapenutupan. Pengondisian itu jauh lebih berat karena sangat
menentukan keberlanjutan kawasan tersebut,” katanya, seperti dilansir Antaranews.com.
Risma
memberi gambaran, untuk kawasan eks lokalisasi Sememi dan Klakahrejo, pemkot
mengalokasikan anggaran sebesar Rp 28 miliar. Dana tersebut digunakan membangun
pasar, sentra PKL, dan sejumlah sarana fasilitas umum lainnya. Dengan demikian,
warga penghuni eks lokalisasi mendapat peluang kerja untuk memenuhi kebutuhan
ekonominya.
Saat
ditanya apakah upaya revitalisasi Dolly memerlukan persetujuan warga sekitar,
Risma menegaskan bahwa proses penutupan lokalisasi terus berjalan kendati tanpa
persetujuan karena berdasar Perda 7/1999 secara jelas menyebutkan bahwa kawasan
tersebut berfungsi sebagai rumah tinggal, bukan tempat prostitusi.
“Dengan
landasan perda tersebut pemkot berhak mengambil tindakan untuk kebaikan kota,
sehingga untuk penutupan lokalisasi itu tidak diperlukan persetujuan apa pun,”
terang Risma.
Adapun
salah satu alasan kuat wali kota ingin segera merombak kawasan Dolly dan
menjadikannya sentra bisnis adalah keprihatinan akan kondisi sekolah.
Risma
mengaku beberapa kali mengunjungi sekolah yang terletak di kawasan prostitusi
yang hasilnya memprihatinkan.
Anak-anak
di lingkungan lokalisasi cenderung minder, malu, rendah diri, dan lebih parah
lagi ada yang sampai frustasi.
Belum
lagi, geliat bisnis prostitusi akan mempengaruhi tumbuh kembang anak yang
tinggal di sekitarnya. “Dan itu pasti menimbulkan dampak buruk bagi psikologis
anak,” katanya.
Pemkot vs. Lokalisasi Terbesar se-Asia Tenggara
Persoalan di Dolly, Jarak dan lokalisasi lainnya di
Surabaya, kata Risma, merupakan masalah klasik yang selalu mengiringi siapa pun
Pemimpin Kota Surabaya. Menurut dia, banyaknya kasus trafficking (perdagangan orang dan anak) yang kerap ditangani
Polisi Surabaya, memiliki benang merah dengan persoalan prostitusi.
Pertanyaannya, mampukah Risma menutup total Dolly
yang konon merupakan tempat lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara, seperti
penutupan tempat prostitusi Tambaksari, Klakah Rejo dan Dupak Bangunsari?
Keberhasilan penutupan memang belum bisa diramal.
Namun setidaknya persiapan penutupan bisa dilihat sebagai indikasi keseriusan
pemkot menata kawasan itu sehingga bebas dari aktivitas asusila. Apalagi Dolly
selama ini juga menjadi kekuatan dan sandaran hidup bagi penduduk sekitar.
Konon, setidaknya terdapat lebih dari 800 wisma
esek-esek, kafe dangdut dan panti pijat plus yang berjejer rapi. Setiap malam,
konon sekitar 9.000 lebih penjaja cinta, pelacur di bawah umur, germo, ahli
pijat siap menawarkan layanan kenikmatan kepada para pengunjung.
Tidak hanya itu, Dolly juga menjadi tumpuan hidup
bagi ribuan pedagang kaki lima, tukang parkir, dan calo prostitusi. Semua
saling berkait menjalin sebuah simbiosis mutualisme.
Pro Kontra
Rencana penutupan
lapak prostitusi ini bukan tanpa pro dan kontra. Beberapa pihak masih
menganggap hal itu sebuah kesia-siaan belaka, dengan logika bahwa jika tempat
lokalisasi ditutup, maka para PSK justru akan menyebar tak terkontrol. Beberapa
pihak bahkan menilai bahwa persoalan penutupan Dolly sebenarnya
dilatarbelakangi penjaja seks kelas atas yang merasa tersaingi.
Meski diakui bahwa banyak demo dan desakan dari
berbagai pihak, bahkan dari Jakarta, agar mengurungkan niat penutupan
lokalisasi, perempuan yang akrab dipanggil Risma itu menegaskan takkan gentar.
"Saya rela mati demi ini," tandas Walikota Surabaya ini yakin.
Tri Rismaharani, Walikota Surabaya
Keteguhan itu tidak terlepas dari alasan awal
keinginannya menutup lokalisasi. Risma bercerita bahwa dulu saat banyak
kalangan, terutama kiai, yang memintanya menutup kawasan prostitusi, dialah
yang justru tidak yakin mampu. "Kalau saya tutup saat itu, saya
belum bisa kasih makan," kisahnya.
Bila demikian, dia meyakini penutupan justru akan
menimbulkan masalah baru karena para pekerja seks komersial boleh jadi justru
membuka kawasan prostitusi di mana-mana.
Alasan lainnya kenapa dulu ia tidak begitu berkeras
untuk menutup lokalisasi, adalah terkait tanggung jawab. "Saya nggak
pernah buka kok saya harus nutup," katanya jenaka.
Namun kemudian pandangan itu berangsur berubah sejak
dia menyadari bahwa banyak korban perdagangan manusia (human trafficking)
banyak terjerumus ke lokalisasi. Keberadaan para korban itu di sana, tentu saja
bukan karena kehendak mereka sendiri.
Tetapi kalau berbicara puncak munculnya keyakinan
memberangus lokalisasi prostitusi, Risma mengungkap itu tidak terlepas dari
perkenalannya dengan seorang pekerja seks komersial yang masih menjajakan
tubuhnya walaupun sudah berusia 62 tahun. Suatu kali saat berkeliling ke lokalisasi
dan menemui perempuan itu, Risma mengaku heran mengapa nenek itu masih menjadi
PSK.
Dia lantas bertanya, "Memang siapa yang sih
yang mau (menggunakan jasanya yang sudah tua)?" Jawaban perempuan itu
kemudian membuatnya tercengang. "Anak SMP/SMA yang cuma punya seribu dua
ribu juga saya layani," katanya mengulangi kalimat PSK tersebut.
Bagi Risma, hal itu persoalan besar. Dia tidak rela
membiarkan lebih banyak ada anak-anak muda di kotanya menjadi korban karena
menikmati prostitusi di lokalisasi. Lagi-lagi dia menegaskan, "Saya rela
mati demi ini."
Mengomentari persiapan penutupan, Kepala Dinas
Sosial (Dinsos) Kota Surabaya Supomo mengaku sudah melakukan kajian bagaimana
merehabilitasi Dolly. "Utamanya tentang bagaimana warga yang terkena
dampak langsung secara ekonomi dan sosial sebagai imbas dari rencana
rehabilitasi tersebut bisa tertangani," ujarnya, Senin (11/11).
Dinsos, dia melanjutkan, akan melakukan pemberdayaan
agar warga sekitar lokalisasi tidak terlalu berat merasakan dampak
rehabilitasi. Supomo mencontohkan, eks lokalisasi di Klakah Rejo yang kini
dialihfungsikan sebagai bangunan Sport Center, sekolahan dan taman.
"Ini kan program kasih sayang. Untuk Dolly
belum tahu nanti akan dibangun apa karena kajian di Bappeko masih belum turun.
Tetapi yang jelas, prinsip kami, Dolly yes, prostitusi No. Keinginan ini
didukung oleh elemen masyarakat seperti organisasi kemasyarakat (Ormas)
keagamaan, Ormas kepemudaan, dan juga kemahasiswaan," terang Supomo.
Transformasi lokalisasi Dolly tidak akan mudah, kata
dia. Tetapi, aturannya sudah jelas. Tiap bangunan di Kota Surabaya, dilarang
digunakan untuk tempat asusila. Untuk mewujudkan itu, Pemkot Surabaya memiliki
fungsi regulasi dengan kembali menata kawasan-kawasan agar sesuai dengan
regulasi itu.
"Prinsipnya, kita selamatkan generasi masa depan,
itu lebih utama dari pada kita terus berargumentasi. Kita tahu, penanganan
Dolly harus lebih cermat dan teliti. Dan kita sudah melakukan sosialisasi,
tidak hanya melalui diskusi juga deklarasi ini," tuturnya.
Antara
Jakarta dan Surabaya
Beda Tri Rismaharini, beda pula Basuki
Tjahaja Purnama. Wakil Gubernur DKI Jakarta yang kerap dipanggil Ahok ini
justru sempat bersitegang dengan beberapa ormas Islam lantaran adanya wacana untuk membangun lokalisasi prostitusi di Jakarta.
"Prostitusi itu adalah tindakan amoral dan
dehumanisasi," tegas Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Bidang Dakwah, M. Ziyad kepada
Rakyat Merdeka Online (Sabtu,
4/1).
Selain itu menurut Ziyad, mantan Bupati Belitung
Timur yang akrab disapa Ahok itu juga tidak mengerti peran dan tugas Muhammadiyah.
"Dia tidak memahami bahwa Muhammadiyah itu
organisasi keagamaan yang berkewajiban secara moral menyerukan amar maruf
nahi munkar, salah satunya ya menolak praktik pelacuran, apalagi
dilegalkan," ungkap Ziyad.
Sejalan dengan itu, Ziyad heran dengan wacana yang
dilontarkan oleh politikus Golkar yang loncat ke Gerindra tersebut. "Pak
Sutiyoso (mantan Gubernur DKI Jakarta) sudah menutup lokalisai di Kramat
Tunggal, jadilah sekarang Islamic Center. Kok sekarang diwacanakan mau dibangun
lagi (lokalisasi)," tandas dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Sebelumnya, Koordinator Divisi Dakwah Khusus Majelis
Tabligh Muhammadiyah, Agus Tri Sundari menegaskan, pihaknya menolak keras ide
Ahok membangun lokalisasi prostitusi di Jakarta.
Menanggapi itu, Ahok mengaku tidak mengerti mengapa
Muhammadiyah menolak usulannya tersebut. "Saya juga nggak setuju ada
legalisasi prostitusi. Persoalannya, jangan munafik! Emang nggak ada prostitusi
di DKI? Ngapain munafik? Itu aku nyindir saja," ungkap Ahok.
0 comments :
Posting Komentar