4 Sep 2012

Yuk, Mencari Bekal!


Alkisah, hiduplah seorang pemuda dengan kedua orang tuanya di lereng gunung. Suatu hari, sang bapak menitahkan anak semata wayangnya, “Nak, tolong bawakan kotak ini ke rumah kakek nenekmu. Tapi ingat! Jangan sekali-sekali membuka kotaknya.”



“Baik, ayah!” sang anak menyanggupi.

“Tapi batas waktunya,” sambung sang ayah, “hanya sampai matahari terbenam saja. Jika matahari telah terbenam saat kau belum sempat menyerahkan kotak ini, maka jangan kau melanjutkan perjalanan. Kembali lagilah ke rumah sambil membawa kotak tersebut.”



“Baik, ayah!” kembali sang anak menyanggupi.

Kemudian, pemuda tersebut memulai perjalanan menuju rumah sang kakek nenek, sebuah rumah yang terletak di lereng gunung yang lain.

Belum lama sang pemuda meninggalkan rumah, tampak olehnya seorang kawan yang sudah lama tak dilihatnya. Mereka bertemu melepas rindu, membicarakan kenangan-kenangan masa lalu, dan sebagainya. 

Tak dirasa, pembicaraan mereka yang mengasyikkan telah menghabiskan waktu cukup lama. Mereka akhirnya berpisah, sang pemuda kembali melanjutkan perjalanan.

Beberapa saat setelah pemuda tersebut berjalan, dia melihat sesosok wanita yang membuatnya terkesima. Takut kalau tidak dapat bertemu lagi, ia pun membuntuti sang wanita hingga sampai rumahnya. Setelah pemuda tersebut tahu rumah sang wanita, ia kembali melanjutkan perjalanan ke rumah kakek neneknya.

Tak terasa, matahari telah berada di pertengahan langit barat. Sang pemuda yang bahkan belum menempuh setengah perjalanan segera bergegas mempercepat langkahnya agar sampai di tempat tujuan. Namun, tubuhnya yang mulai lemas tergoda untuk singgah di sebuah rumah makan yang menyajikan makanan favorit masyarakat daerah tersebut. Terkenal dengan rasanya yang lezat dan harganya yang murah, sang pemuda singgah di rumah makan tersebut untuk sementara waktu. Di sana, ia bertemu banyak orang yang belum dikenalnya. Watak sang pemuda yang supel menjadikan ia tak segan untuk berkenalan dengan orang-orang di rumah makan tersebut, kemudian berbinvcang beberapa saat.

Sang pemuda akhirnya kembali melanjutkan perjalanan. Namun kala itu, matahari telah menyentuh cakrawala di ufuk barat. Dengan bermandikan cahaya senja sang surya, sang pemuda mengambil langkah seribu guna menyelesaikan amanat yang diberikan kedua orang tuanya.

Namun saat ia telah menempuh separuh perjalanan, adzan maghrib telah berkumandang yang menyatakan bahwa matahari telah terbenam sekarang. Sang pemuda yang teringat pesan sang ayah, akhirnya berbalik kembali menuju rumahnya.

Malam larut, sang pemuda tersebut sampai di rumah dan menceritakan segala hal terkait perjalanannya. Walaupun begitu sang anak tetap menjaga pesan sang ayah agar jangan membuka kotaknya.

Analogi Kehidupan Kita

Kisah di atas sebenernya merupakan analogi kehidupan kita, lho. Sejak kita di alam ruh, kita telah berjanji agar selalu beribadah kepada Allah SWT, dan inilah tujuan penciptaan kita di dunia.

Allah SWT berfirman, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” {QS. Adz-Dzariyat (51) : 56}

Namun setelah kita mulai berjalan, menapaki hidup di dunia ini, hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, kita lupa akan tujuan kita yang sebenarnya. Orientasi hidup kita jadi kacau dan justru menjadikan dunia orientasi kita. Gak masalah memiliki tujuan yang bersifat duniawi, jadi orang kaya misalnya. Namun yang menjadi peringatan, harusnya segala macam tujuan duniawi tadi bermuara pada satu tujuan utama, “beribadah kepada Allah SWT.” Misal jika kita ingin kaya, sejak awal kita harus meniatkan untuk beribadah kepada Allah SWT, seperti untuk sedekah, membuka lapangan pekerjaan untuk ribuan fakir miskin, membangun masjid, dan laen-laen.

 Ingat, inti dari kehidupan kita adalah “MENCARI BEKAL”. Bukan bekal piknik, bukan pula bekal buat makan siang, tapi bekal meraih ridha-Nya.


Kajian Pengurus

Oleh : Mas Galih Mustofa
Sabtu, 14 Syawal 1433 H / 1 September 2012 M
GOR UNS
PR/KP/II/Kajian Pengurus/01

0 comments :

Posting Komentar