27 Agu 2012

Indonesia antara Islam & Warisan Kolonial

Bahasa menunjukkan bangsa, peribahasa tersebut mempunyai makna yang sangat dalam. Selain faktor genetis, bahasa adalah identitas utama eksistensi sebuah masyarakat baik suku maupun bangsa. Berdasar fenomena keragaman bahasa ini kita dapat melihat bahwa dunia ini ditempati beraneka ragam bangsa. Ada bangsa Arab, Perancis, Inggris, Indonesia, China dan lain sebagainya.



Di Indonesia, kita dapat melihat aneka suku dengan ke aneka ragaman bahasa yang berbeda. Karenanya, bila ada sebuah negara yang berdiri tanpa mempunyai akar bahasa asli dimana bangsa tersebut berada, bisa dipastikan bahwa negara tersebut berdiri sebagai hasil “jarahan” dari penduduk aslinya, seperti Australia, Selandia Baru dan Amerika, baik Amerika Serikat maupun negara-negara Amerika Selatan seperti Brazil, Mexico dan lain sebagainya. Selain itu, bahasa juga bisa dipergunakan untuk melihat kuat atau lemahnya pengaruh sebuah peradaban terhadap bangsa tersebut.

Derasnya pertambahan kosakata serapan dari bahasa Inggris yang dipakai masyarakat Indonesia menunjukkan bahwa saat ini peradaban Barat dimana bahasa Inggris menjadi “lingua franca”  tengah dominan mempengaruhi pemikiran masyarakat. Saat ini mungkin kita akan langsung faham bila mendengar kata “fashion, download, verifikasi, diversitas, pluralisme, dogmatis dan masih banyak lagi kata serapan lain yang ditelan mentah apa adanya dari kebudayaan barat. Rapuhnya ketahanan kebudayaan di Indonesia ini juga bisa dilihat bagaimana kata-kata tersebut masuk menjadi bagian dari keseharian kita dalam berbahasa tanpa melalui proses “ulayatisasi” atau “filter” yakni dengan mencari padanan dalam akar kebudayaan kita sendiri. Ada beberapa yang diupayakan untuk itu seperti “download” menjadi “unduh”. Meski demikian istilah “unduh” ini tetap saja kalah populer. Bahkan dalam perbincangan di tingkat media kita dapat melihat bagaimana kata-kata asing yang merupakan infiltran ini kemudian menjadi diskursus mainstream seperti kata “pluralism” dan “toleransi”.  Kedua kata ini bahkan telah berhasil menjadi “tuan” yang memaksa istilah dari bahasa kita yakni “kemajemukan” dan “tepa selira” untuk disesuaikan pemaknaannya.

Indonesia dan Islam

Indonesia, sebagai sebuah “benua maritim” yang menjadi jalur lalu lintas pedagang internasional sejak jaman pra sejarah.  Sebagai kawasan dagang lintas benua, nusantara merupakan medan riel pertarungan kepentingan berbagai kebudayaan yang menyinggahinya. Profesor Denys Lombard, dalam bukunya Nusa Jawa Silang Budaya menyebutkan setidaknya ada empat macam peradaban dan kebudayaan besar yang saling berebut pengaruh di kepulauan nusantara ini. Yakni dari kelompok Asia yang dilakukan oleh peradaban India yang di bidang agama dengan Hindhuisme dan Buddhisme nya, kemudian peradaban China serta peradaban Islam. Di luar jaringan Asia, peradaban Barat yang di bidang keagaman diwakili oleh Katolik yang di bawa Portugis dan kemudian Protestan yang disponsori kaum Calvinis dari Belanda juga ikut mewarnai wajah peradaban dan kebudayaan di kepulauan nusantara ini[1].





Gambar I. Rute Perdagangan di Samudera Hindia tahun 500 – 1.000 M

Dalam pertarungan antara empat kebudayaan besar tersebut, dalam “mainstream wacana” baik ilmiah maupun popular selalu digambarkan bahwa Peradaban India dalam hal ini Hindhu Buddha merupakan variable dominan dalam kebudayaan nusantara. Sebuah “konsensus akademis” yang sudah terlanjur diamini dan dijadikan sebagai kurikulumm resmi negara ini. Dan tentu saja mengunang tanda tanya besar, karena justru Islam yang dipilih oleh mayoritas penduduk di Indonesia, dikatakan hanya merupakan variable permukaan, kata Van Lith, seperti baju tipis yang berlubang-lubang yang kelihatannya bahwa di dalamnya masih Hindu dan Buddha[2]. Oleh karena itu menarik untuk melihat apa yang disajikan oleh Professor Denys Lombard dalam buku ini. Gambar di bawah ini menunjukkan pemakaian huruf arab Melayu sebagai huruf resmi  masyarakat di kepulauan nusantara dan telah menjadi huruf dalam administrasi dan surat-menyurat di kerajaan-kerajaan yang ada.



Gambar 2. Aksara-Aksara di Asia Tenggara pada Abad ke 17[3]

Hanya kerajaan Mataram yang belum menggunakan aksara arab dalam pemerintahannya, hal ini dikarenakan proses Islamisasi yang terhambat pasca meninggalnya Sultan Agung Hanyokrokusumo yang kemudian digantikan oleh Amangkurat yang tunduk pada kekuasaan politik VOC.  Namun bukan berarti itu tidak menjadi huruf yang eksis di tengah masyarakatnya.

Ilustrasi dari Prof. Lombard ini menjadi menarik karena kita dapat melihat bagaimana keampuhan strategi yang dilakukan oleh para ulama pendakwah Islam di kepulauan ini sehingga, meski harus berhadapan dengan kekuatan imperialisme Barat pada saat itu mampu memenangkan pertandingan dalam memberikan identitas dasar atas “peradaban nusantara”. Para ulama menyatukan mengintegrasikan identitas ratusan suku yang ada di Indonesia ini ke dalam “bahasa Melayu” dan “agama Islam”. Kata-kata serapan dari bahasa Arab yang digunakan dalam bahasa Melayu berkisar antara 15 – 20 %[4]. Kosa kata itu merupakan unsur-unsur penting dalam kebudayaan Melayu termasuk Jawa, seperti kata adil, fikir, amanat, khianat, fitnah dan smasih banyak lagi lainnya. Selain itu juga ada proses Islamisasi makna seperti sembahyang, surga, neraka dll. Meski suku Jawa termasuk sebagai wilayah yang paling akhir dalam menerima dakwah Islam dan paling lambat terintegrasi dalam budaya Melayu, bukan berarti Jawa dan Melayu itu terpisah, sebab mereka telah diikat oleh keyakinan yang sama yaitu agama Islam. Hal ini diakui oleh pendeta Jans Aritonang dalam buku Sejarah Perjumpaan Islam dan Kristen di Indonesia bahwa pada masa lalu kalau ada orang Jawa yang “murtad” dari Islam, maka ia akan dijuluki sebagai “wong jawa ilang jawane” ada juga istilah lain yaitu “jawa wurung, landa durung”[5]. Jadi pada masa lalu, orang Jawa itu mesti Islam.

Ketika Islam akhirnya makin mengakar ke dalam tubuh masyarakat di kepulauan nusantara dan menjadi inspirasi utama dalam melakukan perlawanan atas pendudukan kaum kolonial, dengan kemunculan Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, Perang Padri oleh Tuanku Imam Bonjol dan aneka perlawanan yang hampir merata di seluruh tanah air, maka selain melakukan penumpasan politik, Belanda juga mulai intensif melakukan proses de Islamisasi Kebudayaan. Menurut Muhammad Natsir ada tiga jenis proses De Islamisasi bangsa Indonesia yaitu Nativisasi, Kristenisasi dan Sekulerisasi.

Para Pewaris Kompeni

Program Nativisasi (memunculkan kembali peradaban pra Islam) dapat dilihat ketika pada tahun 1830 Pemerintah kolonial Belanda mendirikan Instituut voor het Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa) di Surakarta, yang merupakan tempat berkumpul para ahli-ahli Jawa berkebangsaan Belanda. Para javanolog Belanda ini lebih jauh menggali kesusastraan, bahasa dan sejarah Jawa kuno yang telah lama menghilang di kalangan orang Jawa. Para Javanolog Belanda mengembalikan tradisi Jawa kuno (Jawa pra Islam) dan menghubungkannya dengan Surakarta.  Javanolog Belanda lah yang “menemukan”, “mengembalikan” dan “memberikan makna terhadap Jawa masa lalu. Jika orang Jawa ingin kembali ke masa lalunya, mereka harus melalui screening pemikiran Javanolog Belanda[6].

Selain itu, Belanda melalui politik etis (irigasi, imigrasi dan edukasi), dan juga kebijakan politis telah berhasil menggusur eksistensi pemakaian huruf arab sebagai huruf resmi administrasi pemerintahan dengan hurup latin/roman. Proses ini merupakan sebuah pukulan telak bagi kelangsungan proses kelanjutan integrasi Islam dengan kebudayaan Nusantara. Oleh karena itu Prof. Naquib Al Attas menyebut salah satu kerugian terbesar akibat kolonialisme adalah hilangnya hubungan paedagogis antara Al Qur’an dengan bahasa Melayu dan daerah[7]. Seiring dengan proses Deislamisasi Bahasa ini maka secara perlahan identitas kebudayaan kepulauan nusantara diarahkan kembali ke kebudayaan pra Islam yakni dengan proses Indianisasi dalam sejarah dan Romanisasi dalam peradaban. Hal ini bisa kita lihat dalam fakta yang disajikan Prof. Lombard dalam Buku Nusa Jawa Silang Budaya.



Gambar 3. Aksara-aksara di Asia Tenggara Abad ke 20[8]

Peta dia atas menunjukkan bahwa pada akhirnya huruf latin menjadi huruf tunggal yang dipakai di kepulauan nusantara. Proses De Islamisasi ini tidak hanya dilakukan di Indonesia, di India pemakaian bahasa Urdu dan huruf Arab Urdu, sebutan untuk bahasa lokal yang telah di “Islam” kan juga tergusur, setelah pemerintah Inggris menetapkan bahasa dan huruf Hindi sebagai huruf resmi dalam administrasi pemerintahan. Padahal bahasa Urdu telah menjadi bahasa resmi di India selama 600 tahun pada masa pemerintahan Dinasti Mughal di India. Politik etis juga bermakna politik Asosiasi dimana Belanda merasa berkewajiban untuk mendidik para priyayi pribumi. Sebab Kristen dipandang sebagai agama yang berperadaban tinggi, sedangkan Islam dipandang sebagai agama yang berperadaban rendah. Dengan keyakinan mengenai superioritas peradaban Barat, maka politik etis mempunyai peran penting  dalam mengubah intelektual dan budaya penduduk pribumi sesuai dengan nilai-nilai Barat yang sekuler.

Tidak hanya itu, masyarakat yang terjajah juga dipaksa untuk mengalami amnesia sejarah melalui "penjarahan intelektual". Manuskrip-manuskrip kuno yang menjadi pintu penghubung bangsa ini dengan masa lalunya di bawa  diangkut paksa ke Eropa. Di dalam bukunya Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, Al-Habib Alwi bin Thahir Al-Haddad menceritakan,

"Pada tahun 1341 H, saya sampai di Jawa dan menanyakan serta mencari buku-buku sejarah Jawa. Orang-orang menasihatkan saya supaya jangan menyebut-nyebut tentang itu, karena pemerintah Belanda mengharuskan setiap orang yang memiliki buku sejarah kuno untuk menyerahkan buku tersebut kepada sebuah badan, yang dibentuk oleh Belanda khusus untuk itu"[9].

Menarik fakta  yang ditemukan M.C. Ricklefs, pada bulan Juni 1812, pasukan Raffles  berhasil merebut istana Kasultanan Yogyakarta setelah terjadi tembakan-tembakan artileri yang seru. Istana itu kemudian dirampok, perpustakaan dan arsipnya dirampas, serta sejumlah besar uang diambil[10]. Selain di Jawa, di Melayu, menurut Abdullah bin Abdulkadir Munsyi dalam hikayatnya, Raffles telah mengumpulkan kira-kira 300 jilid buku.

Tidak hanya di Indonesia yang merupakan negeri muslim, di Filiphina hal serupa juga terjadi, sehingga dengan tegas Dr. Joze Rizal menyatakan bahwa kolonisasi Spanyol telah menghapus ingatan orang-orang Filipina akan masa lalu pra kolonial mereka[11].

Mulai saat itulah, dunia Intelektual di Indonesia mengalami apa yang disebut oleh Joachim Mattes sebagai “Kristenisasi Kultural Secara Tersembunyi” dimana konsep-konsep yang muncul dan berkembang di dunia Kristen dicangkokkan dengan paksa ke dunia Islam melalui “kebijakan politik” dan “para terdidik” yang dibiayai untuk menyerap pendidikan langsung di jantung “peradaban Barat”. Proses ini menghasil apa yang disebut oleh Syed Hussein Al Attas sebagai para “intelektual yang pikirannya terbelenggu”. Intelektual model ini tidak mempunyai kreatifitas untuk mengungkapkan masalah secara orisinal yang terasing dari isu-isu besar masyarakat dan tradisi bangsanya sendiri[12]. Oleh karena itu merupakan hak kita dengan  dukungan bukti sejarah yang kuat untuk menyebut para agen sekularisasi itu sebagai “pewaris kebijakan kompeni”


[1] Prof. Dr. A. Teeuw, Kata Pengantar pada buku Prof. Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya 1, Batas-batas Pembaratan, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,  2008) hal. xviii –xix.

[2] Kareel A. Steenbrink, Mencari Tuhan Dengan Kacamata Barat, Kajian Kritis Mengenai Agama di Indonesia, (Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga Press, Yogyakarta, 1998) hal. 243


[3] Denys Lombard, Prof. Dr,  Nusa Jawa Silang Budaya 1, Batas-batas Pembaratan, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,  2008) hal. 165

[4][4] A.H. John, “Penerjemahan” Bahasa Arab ke Dalam Bahasa Melayu, makalah dalam buku  yang disunting oleh Henri Chambert-Loir, Sadur, Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaisya (Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2009) hal. 49.

[5] Pendeta Jans Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2005) hal. 99

[6] Takashi, Shiraisi,  Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta: Grafiti Press, 1997). hal. 7

[7] Syed Naquib Al Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin, (Kuala Lumpur : ISTAC, 200), hal 120

[8] Denys Lombard, Prof. Dr,  Nusa Jawa Silang Budaya 1, Batas-batas Pembaratan, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,  2008) hal. 165

[9] Al-Habib Alwi bin Thahir Al-Haddad, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, (Jakarta: Lentera, 1995), hlm. 99.


[10] M.C. Ricklefs, Sejarah Modern Indonesia, (Yogyakarta : Gajah Mada University Press) hal. 175

[11] Syed Farid Al Attas, Diskursus Alternatif Dalam Ilmu Sosial Asia, Tanggapan Terhadap Eurosentrisme, (Bandung : Mizan, 2006). Hal. 11

[12] Syed Farid Al Attas, Ibid, hal. 13

0 comments :

Posting Komentar