Bahasa menunjukkan bangsa, peribahasa tersebut mempunyai makna yang sangat
dalam. Selain faktor genetis, bahasa adalah identitas utama eksistensi sebuah
masyarakat baik suku maupun bangsa. Berdasar fenomena keragaman bahasa ini kita
dapat melihat bahwa dunia ini ditempati beraneka ragam bangsa. Ada bangsa Arab,
Perancis, Inggris, Indonesia, China dan lain sebagainya.
Di Indonesia, kita dapat melihat aneka suku dengan ke aneka ragaman bahasa yang berbeda. Karenanya, bila ada sebuah negara yang berdiri tanpa mempunyai akar bahasa asli dimana bangsa tersebut berada, bisa dipastikan bahwa negara tersebut berdiri sebagai hasil “jarahan” dari penduduk aslinya, seperti Australia, Selandia Baru dan Amerika, baik Amerika Serikat maupun negara-negara Amerika Selatan seperti Brazil, Mexico dan lain sebagainya. Selain itu, bahasa juga bisa dipergunakan untuk melihat kuat atau lemahnya pengaruh sebuah peradaban terhadap bangsa tersebut.
Derasnya pertambahan kosakata serapan dari bahasa Inggris yang dipakai
masyarakat Indonesia menunjukkan bahwa saat ini peradaban Barat dimana bahasa
Inggris menjadi “lingua franca” tengah dominan mempengaruhi pemikiran
masyarakat. Saat ini mungkin kita akan langsung faham bila mendengar kata
“fashion, download, verifikasi, diversitas, pluralisme, dogmatis dan masih
banyak lagi kata serapan lain yang ditelan mentah apa adanya dari kebudayaan
barat. Rapuhnya ketahanan kebudayaan di Indonesia ini juga bisa dilihat
bagaimana kata-kata tersebut masuk menjadi bagian dari keseharian kita dalam
berbahasa tanpa melalui proses “ulayatisasi” atau “filter” yakni dengan mencari
padanan dalam akar kebudayaan kita sendiri. Ada beberapa yang diupayakan untuk
itu seperti “download” menjadi “unduh”. Meski demikian istilah “unduh” ini
tetap saja kalah populer. Bahkan dalam perbincangan di tingkat media kita dapat
melihat bagaimana kata-kata asing yang merupakan infiltran ini
kemudian menjadi diskursus mainstream seperti kata “pluralism” dan
“toleransi”. Kedua kata ini bahkan telah berhasil menjadi “tuan” yang
memaksa istilah dari bahasa kita yakni “kemajemukan” dan “tepa selira” untuk
disesuaikan pemaknaannya.
Indonesia dan Islam
Indonesia, sebagai sebuah “benua maritim” yang menjadi jalur lalu lintas
pedagang internasional sejak jaman pra sejarah. Sebagai kawasan dagang
lintas benua, nusantara merupakan medan riel pertarungan kepentingan berbagai
kebudayaan yang menyinggahinya. Profesor Denys Lombard, dalam bukunya Nusa Jawa
Silang Budaya menyebutkan setidaknya ada empat macam peradaban dan kebudayaan
besar yang saling berebut pengaruh di kepulauan nusantara ini. Yakni dari
kelompok Asia yang dilakukan oleh peradaban India yang di bidang agama dengan
Hindhuisme dan Buddhisme nya, kemudian peradaban China serta peradaban Islam.
Di luar jaringan Asia, peradaban Barat yang di bidang keagaman diwakili oleh
Katolik yang di bawa Portugis dan kemudian Protestan yang disponsori kaum
Calvinis dari Belanda juga ikut mewarnai wajah peradaban dan kebudayaan di
kepulauan nusantara ini[1].
Gambar I. Rute Perdagangan di Samudera Hindia tahun 500 – 1.000 M
Dalam pertarungan antara empat kebudayaan besar tersebut, dalam “mainstream
wacana” baik ilmiah maupun popular selalu digambarkan bahwa Peradaban India
dalam hal ini Hindhu Buddha merupakan variable dominan dalam kebudayaan
nusantara. Sebuah “konsensus akademis” yang sudah terlanjur diamini dan
dijadikan sebagai kurikulumm resmi negara ini. Dan tentu saja mengunang tanda
tanya besar, karena justru Islam yang dipilih oleh mayoritas penduduk di
Indonesia, dikatakan hanya merupakan variable permukaan, kata Van Lith, seperti
baju tipis yang berlubang-lubang yang kelihatannya bahwa di dalamnya masih
Hindu dan Buddha[2]. Oleh karena itu menarik untuk melihat apa yang disajikan
oleh Professor Denys Lombard dalam buku ini. Gambar di bawah ini menunjukkan
pemakaian huruf arab Melayu sebagai huruf resmi masyarakat di kepulauan
nusantara dan telah menjadi huruf dalam administrasi dan surat-menyurat di
kerajaan-kerajaan yang ada.
Gambar 2. Aksara-Aksara di Asia Tenggara pada Abad ke 17[3]
Hanya kerajaan Mataram yang belum menggunakan aksara arab dalam
pemerintahannya, hal ini dikarenakan proses Islamisasi yang terhambat pasca
meninggalnya Sultan Agung Hanyokrokusumo yang kemudian digantikan oleh
Amangkurat yang tunduk pada kekuasaan politik VOC. Namun bukan berarti
itu tidak menjadi huruf yang eksis di tengah masyarakatnya.
Ilustrasi dari Prof. Lombard ini menjadi menarik karena kita dapat melihat
bagaimana keampuhan strategi yang dilakukan oleh para ulama pendakwah Islam di
kepulauan ini sehingga, meski harus berhadapan dengan kekuatan imperialisme
Barat pada saat itu mampu memenangkan pertandingan dalam memberikan identitas
dasar atas “peradaban nusantara”. Para ulama menyatukan mengintegrasikan
identitas ratusan suku yang ada di Indonesia ini ke dalam “bahasa Melayu” dan
“agama Islam”. Kata-kata serapan dari bahasa Arab yang digunakan dalam bahasa
Melayu berkisar antara 15 – 20 %[4]. Kosa kata itu merupakan unsur-unsur
penting dalam kebudayaan Melayu termasuk Jawa, seperti kata adil, fikir,
amanat, khianat, fitnah dan smasih banyak lagi lainnya. Selain itu juga ada
proses Islamisasi makna seperti sembahyang, surga, neraka dll. Meski suku Jawa
termasuk sebagai wilayah yang paling akhir dalam menerima dakwah Islam dan
paling lambat terintegrasi dalam budaya Melayu, bukan berarti Jawa dan Melayu
itu terpisah, sebab mereka telah diikat oleh keyakinan yang sama yaitu agama Islam.
Hal ini diakui oleh pendeta Jans Aritonang dalam buku Sejarah Perjumpaan Islam
dan Kristen di Indonesia bahwa pada masa lalu kalau ada orang Jawa yang
“murtad” dari Islam, maka ia akan dijuluki sebagai “wong jawa ilang jawane” ada
juga istilah lain yaitu “jawa wurung, landa durung”[5]. Jadi pada masa lalu,
orang Jawa itu mesti Islam.
Ketika Islam akhirnya makin mengakar ke dalam tubuh masyarakat di kepulauan
nusantara dan menjadi inspirasi utama dalam melakukan perlawanan atas
pendudukan kaum kolonial, dengan kemunculan Perang Jawa yang dipimpin oleh
Pangeran Diponegoro, Perang Padri oleh Tuanku Imam Bonjol dan aneka perlawanan
yang hampir merata di seluruh tanah air, maka selain melakukan penumpasan
politik, Belanda juga mulai intensif melakukan proses de Islamisasi Kebudayaan.
Menurut Muhammad Natsir ada tiga jenis proses De Islamisasi bangsa Indonesia
yaitu Nativisasi, Kristenisasi dan Sekulerisasi.
Para Pewaris Kompeni
Program Nativisasi (memunculkan kembali peradaban pra Islam) dapat dilihat ketika
pada tahun 1830 Pemerintah kolonial Belanda mendirikan Instituut voor het
Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa) di Surakarta, yang merupakan tempat
berkumpul para ahli-ahli Jawa berkebangsaan Belanda. Para javanolog Belanda ini
lebih jauh menggali kesusastraan, bahasa dan sejarah Jawa kuno yang telah lama
menghilang di kalangan orang Jawa. Para Javanolog Belanda mengembalikan tradisi
Jawa kuno (Jawa pra Islam) dan menghubungkannya dengan Surakarta.
Javanolog Belanda lah yang “menemukan”, “mengembalikan” dan “memberikan makna
terhadap Jawa masa lalu. Jika orang Jawa ingin kembali ke masa lalunya, mereka
harus melalui screening pemikiran Javanolog Belanda[6].
Selain itu, Belanda melalui politik etis (irigasi, imigrasi dan edukasi),
dan juga kebijakan politis telah berhasil menggusur eksistensi pemakaian huruf
arab sebagai huruf resmi administrasi pemerintahan dengan hurup latin/roman.
Proses ini merupakan sebuah pukulan telak bagi kelangsungan proses kelanjutan
integrasi Islam dengan kebudayaan Nusantara. Oleh karena itu Prof. Naquib Al
Attas menyebut salah satu kerugian terbesar akibat kolonialisme adalah
hilangnya hubungan paedagogis antara Al Qur’an dengan bahasa Melayu dan
daerah[7]. Seiring dengan proses Deislamisasi Bahasa ini maka secara perlahan
identitas kebudayaan kepulauan nusantara diarahkan kembali ke kebudayaan pra
Islam yakni dengan proses Indianisasi dalam sejarah dan Romanisasi dalam
peradaban. Hal ini bisa kita lihat dalam fakta yang disajikan Prof.
Lombard dalam Buku Nusa Jawa Silang Budaya.
Gambar 3. Aksara-aksara di Asia Tenggara Abad ke 20[8]
Peta dia atas menunjukkan bahwa pada akhirnya huruf latin menjadi huruf
tunggal yang dipakai di kepulauan nusantara. Proses De Islamisasi ini tidak
hanya dilakukan di Indonesia, di India pemakaian bahasa Urdu dan huruf Arab
Urdu, sebutan untuk bahasa lokal yang telah di “Islam” kan juga tergusur,
setelah pemerintah Inggris menetapkan bahasa dan huruf Hindi sebagai huruf
resmi dalam administrasi pemerintahan. Padahal bahasa Urdu telah menjadi bahasa
resmi di India selama 600 tahun pada masa pemerintahan Dinasti Mughal di India.
Politik etis juga bermakna politik Asosiasi dimana Belanda merasa berkewajiban
untuk mendidik para priyayi pribumi. Sebab Kristen dipandang sebagai agama yang
berperadaban tinggi, sedangkan Islam dipandang sebagai agama yang berperadaban
rendah. Dengan keyakinan mengenai superioritas peradaban Barat, maka politik
etis mempunyai peran penting dalam mengubah intelektual dan budaya
penduduk pribumi sesuai dengan nilai-nilai Barat yang sekuler.
Tidak hanya itu, masyarakat yang terjajah juga dipaksa untuk mengalami
amnesia sejarah melalui "penjarahan intelektual". Manuskrip-manuskrip
kuno yang menjadi pintu penghubung bangsa ini dengan masa lalunya di bawa
diangkut paksa ke Eropa. Di dalam bukunya Sejarah Masuknya
Islam di Timur Jauh, Al-Habib Alwi bin Thahir Al-Haddad menceritakan,
"Pada tahun 1341 H, saya sampai di Jawa dan menanyakan serta mencari
buku-buku sejarah Jawa. Orang-orang menasihatkan saya supaya jangan
menyebut-nyebut tentang itu, karena pemerintah Belanda mengharuskan setiap
orang yang memiliki buku sejarah kuno untuk menyerahkan buku tersebut kepada
sebuah badan, yang dibentuk oleh Belanda khusus untuk itu"[9].
Menarik fakta yang ditemukan M.C. Ricklefs, pada bulan Juni 1812,
pasukan Raffles berhasil merebut istana Kasultanan Yogyakarta setelah
terjadi tembakan-tembakan artileri yang seru. Istana itu kemudian dirampok,
perpustakaan dan arsipnya dirampas, serta sejumlah besar uang diambil[10].
Selain di Jawa, di Melayu, menurut Abdullah bin Abdulkadir Munsyi dalam
hikayatnya, Raffles telah mengumpulkan kira-kira 300 jilid buku.
Tidak hanya di Indonesia yang merupakan negeri muslim, di Filiphina hal
serupa juga terjadi, sehingga dengan tegas Dr. Joze Rizal menyatakan bahwa
kolonisasi Spanyol telah menghapus ingatan orang-orang Filipina akan masa lalu
pra kolonial mereka[11].
Mulai saat itulah, dunia Intelektual di Indonesia mengalami apa yang disebut
oleh Joachim Mattes sebagai “Kristenisasi Kultural Secara Tersembunyi” dimana
konsep-konsep yang muncul dan berkembang di dunia Kristen dicangkokkan dengan
paksa ke dunia Islam melalui “kebijakan politik” dan “para terdidik” yang
dibiayai untuk menyerap pendidikan langsung di jantung “peradaban Barat”.
Proses ini menghasil apa yang disebut oleh Syed Hussein Al Attas sebagai para
“intelektual yang pikirannya terbelenggu”. Intelektual model ini tidak
mempunyai kreatifitas untuk mengungkapkan masalah secara orisinal yang terasing
dari isu-isu besar masyarakat dan tradisi bangsanya sendiri[12]. Oleh karena
itu merupakan hak kita dengan dukungan bukti sejarah yang kuat untuk menyebut
para agen sekularisasi itu sebagai “pewaris kebijakan kompeni”
[1] Prof. Dr. A. Teeuw, Kata Pengantar pada buku Prof. Denys Lombard, Nusa
Jawa Silang Budaya 1, Batas-batas Pembaratan, (Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama, 2008) hal. xviii –xix.
[2] Kareel A. Steenbrink, Mencari Tuhan Dengan Kacamata Barat, Kajian
Kritis Mengenai Agama di Indonesia, (Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga
Press, Yogyakarta, 1998) hal. 243
[3] Denys Lombard, Prof. Dr, Nusa Jawa Silang Budaya 1,
Batas-batas Pembaratan, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008)
hal. 165
[4][4] A.H. John, “Penerjemahan” Bahasa Arab ke Dalam Bahasa Melayu, makalah
dalam buku yang disunting oleh Henri Chambert-Loir, Sadur,
Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaisya (Jakarta : Kepustakaan Populer
Gramedia, 2009) hal. 49.
[5] Pendeta Jans Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2005) hal. 99
[6] Takashi, Shiraisi, Zaman Bergerak: Radikalisme
Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta: Grafiti Press, 1997). hal. 7
[7] Syed Naquib Al Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin, (Kuala
Lumpur : ISTAC, 200), hal 120
[8] Denys Lombard, Prof. Dr, Nusa Jawa Silang Budaya 1,
Batas-batas Pembaratan, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008)
hal. 165
[9] Al-Habib Alwi bin Thahir Al-Haddad, Sejarah Masuknya Islam di Timur
Jauh, (Jakarta: Lentera, 1995), hlm. 99.
[10] M.C. Ricklefs, Sejarah Modern Indonesia, (Yogyakarta : Gajah
Mada University Press) hal. 175
[11] Syed Farid Al Attas, Diskursus Alternatif Dalam Ilmu Sosial Asia,
Tanggapan Terhadap Eurosentrisme, (Bandung : Mizan, 2006). Hal. 11
[12] Syed Farid Al Attas, Ibid, hal. 13
0 comments :
Posting Komentar