Pemerintah
akhirnya GAGAL mendapat persetujuan
parlemen untuk menaikkan harga BBM per 1 April ini. Dengan syarat deviasi 15%
dari harga asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang dipatok USD 105
perbarel, pemerintah belum bisa mengubah harga eceran premium dan solar. Harga ICP
per Maret sebenarnya sudah mencapai USD 128 perbarel, atau melampaui batas
deviasi 15%, yakni USD 120,75 perbarel. Namun, karena harga yang dipakai adalah
rata-rata enam bulan terakhir, kondisi ini belum memenuhi syarat.
Keputusan
itu tidak terlepas dari drama politik di parlemen yang cukup menarik ulur
nafas. Tiga fraksi oposisi memang tidak ambil kompromi dengan tetap mengunci
kewenangan pemerintah. Namun, fraksi-fraksi koalisi pemerintah masih sibuk
mendengarkan suara rakyat dan menimbang-nimbang atau mungkin memoles diri untuk
pencitraan (*tidak boleh su'udzon sbg orng muslim).
Fraksi
Golkar misalnya. Kurang dari dua jam pembahasan di badan anggaran, mereka
mengumumkan menolak kenaikan harga BBM. Padahal, dalam pembahasan dari awal
hingga hampir ujung, Golkar lah yang membuat alur pembahasan menjadi lebih
lancar dengan menyetujui opsi postur anggaran versi pemerintah yg mengasumsikan
ada kenaikan harga BBM per 1 April. Senada dengan Partai Keadilan Sejahtera
(PKS). Sungguh mereka pun tegas menolak kenaikan harga BBM dalam rapat
paripurna, tidak demikian sikapnya ketika di awal-awal pembahasan.
So
far guys, kita lupakan sejenak persoalan politik yang melilit nan cukup rumit
yang terjadi di Gedung DPR RI, karena walau bagaimanapun si Rakyat lah menjadi
korban. Cukup bagi kita sebagai seorang Muslim khusnudzon saja kepada sesama
orang Muslim yg berada di Gedung DPR RI, iya tho.. :) Paham penulis pasti
mereka ingin memberikan yang terbaik bagi masyarakatnya.
Mari
kita lihat realitas kondisi masyarakat Indonesia dengan analogi sederhana yang
penulis sampaikan. Semoga dapat dipahami oleh temen-teman kaum intelektual
(Mahasiswa) terkait SUBSIDI BBM, Mana yang DIUNTUNGKAN? Penulis ingin
menggambarkan dua sosok si Alay dan si Aking, siapa mereka? yuuk kita lihat..
Alay
adalah pekerja swasta bergaji Rp 14 juta per bulan. Dengan penghasilan itu, dia
bisa mencicil rumah di pinggiran kota Jakarta dengan angsuran 2 juta per bulan.
Dia juga bisa mencicil mobil Avanza dgn angsuran 3 juta per bulan. Alay juga
sesekali nongkrong di Starbucks sambil memainkan iPad terbarunya. Berapa pajak
yang DIBAYAR Alay tiap tahun? Dengan gaji Rp 14 jt per bulan atau penghasilan
per tahun adalah Rp 168 juta. Paling tinggi, pajak penghasilan (PPh) yg dibayar
Alay adalah 17 juta. Lalu, pajak pertambahan nilai (PPN). Anggap saja PPN yg
dipungut dari dia melalui para penjual barang adalah sekitar Rp 300.000 per
bulan. Dengan begitu, setiap tahun Alay secara tidak sadar berkontribusi
menyetor PPN 3,6 juta per tahun. Untuk PBB (Pajak Bumi dan Bangunan), paling
tinggi dipungut Rp 100.000. Dengan demikian, total pajak yg dibayar Alay adalah
Rp 20,7 jt per tahun. Lumayan ya setahun Alay bisa memberikan kontribusi Rp
20,7 juta dalam setahun, tapi apa benar? Kita akan menghitung SUBSIDI yg
diterima Alay dalam setahun.
Perlu
diingat Alay punya sebuah mobil Avanza (walaupun masih nyicil), Alay tetap
menggunakan premium untuk mengisi bahan bakar mobilnya sehari-hari. Jika setiap
hari Alay dia membeli bensin Rp 50 ribu, atau Rp 1,5 juta dalam sebulan, dengan
harga keekonomian yg hampir dua kali lipat harga subsidi, pemerintah menyubsidi
bensin si Alay Rp 1,5 juta per bulan. Dalam setahun, subsidi BBM yang
dihabiskan Alay adalah Rp 18 juta. Masih ada lagi..
Untuk
listrik berkapasitas 2.200 VA dan menggunakan dua unit penyejuk ruangan, dia
membayar tagihan listrik setidaknya Rp 500 rb per bulan. Dengan subsidi yang
hampir separu, subsidi listrik yang dinikmati adalah Rp 250 ribu sebulan atau 3
juta setahun.
Jadi,
orang seperti Alay ini setahun dapat menghabiskan SUBSIDI energi Rp 21 juta.
Dengan pajak yang dibayarkan ke negara Rp 20,7 jt, So negara masih tombok Rp
300.000 untuk satu Alay ini saja. Well.. agak ngelus dada..
Yuk,
sekarang kita bandingkan dengan si Aking. Aking adalah seorang buruh, upah
Aking adalah 2 juta per bulan. Dengan penghasilan itu, dia masih ngontrak di
sebuah rumah petak yang sumpek. Dengan gaji Rp 2 juta per bulan atau Rp 24 juta
per tahun, pajak penghasilan yang dia bayar adalah Rp 710 ribu. PPN yang
dipungut dari belanjanya sekitar Rp 125 ribu per bulan atau Rp 1,5 juta per
tahun. Dengan demikian, total pajak yang dibayar Aking adalah Rp 2,21 juta per
tahun. Mari kita hitung SUBSIDI yang diterima Aking...
Tagihan
listrik Aking per bulan untuk kapasitas 900 VA sekitar Rp 70 ribu per bulan.
Dengan begitu, tiap bulan Aking menerima subsidi sekitar Rp 45 ribu atau Rp 540
ribu per tahun. Aking menghabiskan Rp 4.500 sehari untuk bensin motornya atau
Rp 135 ribu sebulan. Dalam setahun subsidi BBM yang dinikmati Aking adalah Rp
1,62 juta. Total subsidi energi yang dinikmati Aking adalah 2,16 juta. Dengan
pajak Rp 2,21 juta per tahun dan subsidi energi Rp 2,16 per tahun, dari orang
seperti Aking, negara justru mendapat surplus Rp 50 ribu.
Karena
kondisi kehidupan yang semakin sulit, Aking bersama kawan-kawan berdemonstrasi
di depan Gedung DPR RI, menghadapi aparat kepolisian dan plus TNI pula, belum
lagi tembakan gas air mata serta semprotan air yang mengganas. Sedangkan orang
seperti Alay, penikmat subsidi energi Rp 22,5 juta itu, tengah berada di
Starbucks dan memainkan iPad-nya sambil menggerutu dan memaki-maki demonstran
yang memacetkan lalu lintas lewat akun Twitter dan Facebook.
Terlihat
jelas, pada titik kondisi seperti di atas tentu harus disikapi dengan bijak
oleh Pemerintah dan seluruh elemen masyarakat. Penulis katakan fine/tidak
masalah jikalau BBM naik karena dikurangi subsidinya, hal ini untuk
menyelamatkan APBN Indonesia, namun subsidi yang semakin kecil itu kira-kira
siapa yang akan mendapat bagian TERBESAR? Rakyat KECIL, MENENGAH atau yang
KAYA?
Ketika
sistem kontrol di Indonesia terkait pemberian subsidi belum tepat sasaran
(alias belum ada sistemnya), serta BLTS yang diterapkan masih bersifat normatif
dan tidak konklusif bagi rakyat yang serba terbatas, serta diperparah kondisi
korupsi yang semakin merajalela di 32 propinsi atau sekitar 300 kota yang ada
di Indonesia, maka dengan tegas penulis katakan TOLAK KENAIKAN HARGA BBM.
Ibaratnya
di kampus saya (tidak penulis sebut namanya) tiba-tiba menerapkan kebijakan
sistem on-line untuk pengambilan mata kuliah, kira-kira ada sekitar 20.000 ribu
mahasiswa serentak menggunakan sistem on-line itu, alhasil bukannya malah
mempermudah eh.. sistem itu nge-hang dalam waktu yang cukup lama. Efeknya
mahasiswa pada stres, uang habis hanya untuk ke warnet bolak-balik mencoba
entri mata kuliah, efek lainnya kampus saya malah dikutuk banyak mahasiswa,
dengan kata-kata yang kotor, efek jangka panjangnya mahasiswa jadi galau, dsb.
Hal ini tentu saja, dikarenakan si pembuat kebijakan sistem belum memperhatikan
komponen yang mendukung dari sistem tersebut, alias terlalu dini alias
prematur. Seperti teknologi yang belum memadahi, jumlah kapasitas yang belum
diperhitungkan, serta penanganan sistem apabila terjadi error system dsb.
Standing
point yang penulis ingin sampaikan disini adalah kebijakan menaikkan harga BBM
itu sudahkah didukung dengan sistem yang dapat menyejahterahkan masyarakat dari
atas sampai bawah, seperti yang ada dalam amanat UU, tentunya perlu dikaji
lebih mendalam lagi terkait dengan sebuah kebijakan atau sistem, karena sedikit
kesalahan saja akan merugikan banyak pihak terutama masyarakat kecil yang tidak
tau apa-apa hanya plonga-plongo eh.. dapet imbasnya sama para pemegang
kekuasaan.
-semoga bermanfaat, -
0 comments :
Posting Komentar