Bila
cinta antar lawan jenis dibalut dengan suasana Islami, pasti kisah ‘Ali dan
Fathimah selalu menjadi andalan. Bagi sebagian orang, kisah cinta putri bungsu
Rasul dengan khalifah keempat umat Islam ini merupakan sepenggal episode cinta
tak terlupakan dalam rekam jejak kenabian.
Namun
tahukah, masa kenabian tak hanya diwarnai dengan jalan yang lempang dan mudah,
yang di akhir kisah selalu berakhir dengan senyum simpul dan tawa. Dalam
kaitannya dengan kisah cinta, ada juga kisah dari mereka para shahabat yang
kisah mereka tak semulus ‘Ali dan Fathimah. Namun dari mereka, selaksa hikmah
dapat kita ambil guna menjadi bekal pedoman kita dalam menghadapi kekinian.
Nasehat Untuk Sahabat Tercinta
Salman Al Farisi memang sudah waktunya
menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi
shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai
kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan
menurut akal sehat. Dan pilihan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang
suci.
Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di
sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh
dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu
dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah
urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan
tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak
hati itu kepada shahabatnya, Abu Darda’.
”Saya adalah
Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah
memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan
jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu
’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya
datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk
dipersuntingnya.”,
fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.
”Adalah kehormatan
bagi kami”, ucap tuan
rumah, ”Menerima
Anda berdua, sahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga
ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab
ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab
yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.
”Maafkan kami
atas keterusterangan ini”,
kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi
karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab
bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’ kemudian juga
memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban
mengiyakan.”
Jelas sudah. Keterusterangan yang
mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada
pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi indah karena
satu alasan; reaksi Salman.
“Allahu
Akbar!” kata Salman. “Segala mahar (mas kawin) dan nafkah yang telah saya
siapkan hari ini juga saya serahkan pada Abud Darda’. Segeralah kalian menikah,
saya siap menjadi saksinya insya’Allah.”
Namun,
kisah ini tak cukup sampai di sini.
Suatu
hari, Salman melihat Ummu Darda’, wanita yang pernah menjadi pilihan hatinya
itu terlihat sedikit lesu. Diberanikannya Salman untuk menyapa dan menanyakan
perihal keadaannya yang sesungguhnya.
“Bagaimanakah
kabar engkau dan suamimu?” tanya Salman.
“Kami
baik, Alhamdulillah.” Jawab Ummu Darda’ sembari menunduk, “Adapun Abu Darda’
adalah dia tak lagi punya kepentingan dengan urusan dunia.”
“Jelaskanlah!”
desak Salman.
“Alhamdulillah,
tak satu pun siang hari berlalu kecuali dia menjalaninya dengan berpuasa. Dan
Alhamdulillah, dia shalat malam dan membaca Al Qur’an sepanjang gelap dari Isya
hingga Shubuhnya.”
Bagaimana
jika hal ini terjadi pada kita. Lelaki yang kini mengetahui bahwa wanita yang
pernah menjadi hasil istikharah kita tetapi lebih memilih sahabat kita itu, telah
‘disia-siakan’ suaminya.
Namun
Salman bukan kita. Dan Abu Darda’ juga bukan menyia-nyiakan istrinya layaknya
yang terjadi di zaman ini. Dia hanya terlalu bersemangat dalam beribadah hingga
kurang bisa menangkap kegelisahan keluarganya, dalam hal ini istrinya, terkait
pemenuhan haknya.
Maka
Salman meminta izin menginap di rumah Abu Darda’ dan Abu Darda’ juga
mengizinkan. Hingga sampai hari telah berganti malam. “Salman saudaraku,” ujar
Abu Darda’, “Silahkan beristirahat. Aku harus berdiri untuk menunaikan hak
Rabbku (shalat malam).”
“Saudaraku,”
sahut Salman kemudian, “Aku bersumpah dengan Dzat yang jiwaku dalam
genggaman-Nya, mulai mala mini kedua kelopak mataku takkan kukatupkan selamanya
hingga akhir hidup. Kecuali engkau juga mau tidur sebagaimana engkau
beristirahat.”
“Apa
maksudnya ini?” ujar Abu Darda’ bingung.
“Demikianlah
sumpahku telah terucap.”
“Cabutlah!”
“Tidak.”
Akhirnya,
Abu Darda’ menuruti ajakan Salman untuk tidur. Barulah saat malam hendak
berakhir berganti Shubuh, Salman membangunkan Abu Darda’. “Masih ada sedikit
waktu setelah istirahatmu untuk menunaikan hak Rabbmu.”
Pagi
harinya, sang istri sudah menyiapkan hidangan istimewa untuk sarapan. Namun,
Abu Darda’ agaknya tidak berniat memakannya.
“Makanlah
saudaraku!” ujar Abu Darda’. “Adapun aku telah berniat untuk puasa hari ini.”
“Aku
juga bersumpah dengan Dzat yang jiwaku dalam genggaman-Nya,” jawab Salman, “Bahwa
sejak pagi hari ini takkan ada sesuap pun makanan yang akan lewat di
kerongkonganku hingga ajal menjemput. Kecuali kau juga makan bersamaku di pagi
yang indah ini.”
“Demi
Allah, itu sumpah yang bathil!” tukas Abu Darda’.
“Hanya
engkaulah yang bisa membatalkannya, dengan ikut makan bersamaku.”
Akhirnya
keteguhan hati Salman berhasil meluluhkan hati Abu Darda’ untuk membatalkan
niat puasanya hari itu.
Setelah
itu, Salman memberi nasehat kepada sahabatnya tersebut. “Sesungguhnya,” tegas
Salman, “Rabbmu memiliki hak atas dirimu. Dan sesungguhnya, tubuhmu juga
memiliki hak atas dirimu. Dan sesungguhnya keluargamu juga memiliki hak atas
dirimu. Berbuat adilah kepada mereka demi mengabdikan diri kepada Rabbmu.”
Kisah
yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahih-nya
ini dilanjutkan dengan menghadapnya Abu Darda’ kepada Rasulullah sembari
menceritakan ‘ulah’ Salman di rumahnya.
“Salman
benar adanya.” Sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. “Seorang penasehat yang tulus hati.”
Sebuah Kenangan Atas Cinta
“Ya
Allah,” doa Thalhah sembari menahan perihnya sabetan pedang dan hujaman panah
demi melindungi tubuh sang Rasul di medan Uhud, “Ambil darahku hari ini
sekehendak-Mu hingga Engkau ridha.”
“Kalau
ingin melihat syahid yang masih berjalan di muka bumi,” begitu Sang Nabi
bersabda, “Lihatlah pada Thalhah.”
Namun
tiap pahlawan punya kisahnya sendiri.
Satu
hari, Thalhah kedapatan sedang berbincang dengan Ummul Mukminin ‘Aisyah binti
Abu Bakar yang masih terhitung kerabatnya. Sebagai catatan, Ummul Mukminin
adalah gelar bagi istri Nabi. Tak lama, Rasulullah datang dan wajah beliau pias
tak suka. Dengan isyarat, beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam meminta ‘Aisyah masuk ke dalam bilik. Wajah Thalhah
memerah. Ia undur diri bersama gumam dalam hati, “Beliau melarangku berbincang
dengan ‘Aisyah. Tunggu saja, jika beliau telah diwafatkan oleh Allah, takkan
kubiarkan orang lain mendahuluiku melamar ‘Aisyah.”
“Ya.
Akan kunikahi ‘Aisyah jika Nabi telah wafat.” Bisiknya pada seorang kawan suatu
hari.
Gumam
hati dan ucapan Thalhan disambut wahyu. Allah menurunkan firman-Nya kepada Sang
Nabi dalam ayat kelima puluh tiga surah Al Ahzab, “Dan apabila kalian meminta
suatu hajat kepada istri Nabi itu, maka mintalah dari balik hijab. Demikian itu
lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka. Kalian tiada boleh menyakiti
Rasulullah dan tidak boleh menikahi istri-istrinya sesudah wafatnya
selama-lamanya.”
Thalhah
menangis tatkala ayat tersebut dibacakan padanya. Dia lalu memerdekakan
budaknya, menyumbangkan sepuluh untanya di jalan Allah, dan menunaikan umrah
dengan berjalan kaki sebagai bentuk taubatnya.
Kelak,
dengan penuh cinta dinamai putri kecil yang disayanginya dengan nama ‘Aisyah. ‘Aisyah
binti Thalhah. Wanita jelita yang kelak menjadi permata zamannya dengan
kecantikan, kecerdasan, dan kecemerlangannya layaknya ‘Aisyah binti Abu Bakar.
***
Dari
kisah Salman dan Thalhah, kita dapat berkaca. Tak semua berjalan sesuai
keinginan kita, termasuk dalam urusan cinta. Namun dari kisah mereka kita
belajar untuk tetap memberikan ketulusan hati di saat keadaan tak berpihak.
Salman
Al Farisi, walaupun cintanya telah ditolak, tapi ia tetap membantu Ummu Darda’
dari ‘ganjalan’ yang terdapat dalam rumah tangganya. Begitu pula Thalhah,
seorang pahlawan yang rela tubuhnya menjadi perisai bagi Nabi tercinta.
“Sesungguhnya, pada kisah-kisah
mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” {QS.
Yusuf (12): 111}
0 comments :
Posting Komentar