Walaupun
sudah jelas status keagungan wanita dalam Islam, beberapa kelompok sempalan
Islam masih saja mempromosikan ajarannya yang merendahkan derajat wanita atas
nama agama. Misalnya nikah mut’ah, yang dalam bahasa Indonesia biasa disebut
kawin kontrak, salah satu ajaran Syi’ah.
Nikah Mut'ah alias Kawin Kontrak. Bagaimana Syi'ah dan Islam memandangnya?
Secara singkat, Syi’ah adalah salah
satu agama yang sepintas sangat mirip dengan agama Islam, tetapi sebenarnya
memiliki banyak perbedaan mendasar, baik dari segi aqidah, rukun iman, dan yang
lainnya. Termasuk dalam masalah nikah mut’ah.
Di sini insya'Allah akan dipaparkan mengenai nikah mut'ah dalam pandangan agama Syi'ah dan Islam. Berikut
adalah beberapa pembahasan nikah mut’ah dari sudut pandang Syi’ah.
Mut’ah, Sudut Pandang Syi’ah
Nikah
Mut’ah Tidak Ada Batasnya
Dari
Abu Bakar bin Muhammad Al Azdi dia berkata: “Aku bertanya kepada Abu Hasan
tentang mut’ah, apakah termasuk dalam pernikahan yang membatasi 4 istri?” Dia
menjawab: “Tidak.”[1]
Dari
Zurarah dari ayahnya, dari Abu Abdullah, “Aku bertanya tentang mut’ah pada
beliau apakah merupakan bagian dari pernikahan yang membatasi 4 istri?”
Jawabnya, “Menikahlah dengan seribu wanita, karena wanita yang dimut’ah adalah wanita sewaan.”[2]
Syarat
Utama Nikah Mut’ah
Dalam
nikah mut’ah yang terpenting adalah waktu dan mahar. Jika keduanya telah
disebutkan dalam akad, maka sah-lah akad mut’ah mereka berdua. Karena seperti
yang akan dijelaskan kemudian bahwa hubungan pernikahan mut’ah berakhir dengan
selesainya waktu yang disepakati. Jika waktu tidak disepakati maka tidak akan
memiliki perbedaan dengan pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam.
Dari
Zurarah bahwa Abu Abdullah berkata, “Nikah mut’ah tidaklah sah kecuali dengan
menyertakan 2 perkara, waktu tertentu dan bayaran tertentu.”[3]
Sama
seperti barang sewaan, misalnya mobil. Jika kita menyewa mobil harus ada dua
kesepakatan dengan si pemilik mobil, berapa harga sewa dan berapa lama kita
ingin menyewa.
Batas
Minimal Mahar Mut’ah
Di
atas disebutkan bahwa rukun akad mut’ah adalah adanya kesepakatan atas waktu
dan mahar. Berapa batas minimal mahar nikah mut’ah?
Dari
Abu Bashir dia berkata, “Aku bertanya pada Abu Abdullah tentang batas minimal
mahar mut’ah, lalu beliau menjawab bahwa minimal mahar mut’ah adalah segenggam
makanan, tepung, gandum atau korma.”[4]
Semua
tergantung kesepakatan antara dua belah pihak. Sangat cocok bagi mereka yang
berkantong terbatas, bisa memberikan mahar dengan mentraktir makan di hik atau
warung tegal terdekat.
Tidak Ada
Talak Dalam Mut’ah
Dalam
nikah mut’ah tidak dikenal istilah talak, karena seperti di atas telah
diterangkan bahwa nikah mut’ah bukanlah pernikahan yang lazim dikenal dalam
Islam. Jika hubungan pernikahan yang lazim dilakukan dalam Islam selesai dengan
beberapa hal dan salah satunya adalah talak, maka hubungan nikah mut’ah selesai
dengan berlalunya waktu yang telah disepakati bersama. Seperti diketahui dalam
riwayat di atas, kesepakatan atas jangka waktu mut’ah adalah salah satu
rukun/elemen penting dalam mut’ah selain kesepakatan atas mahar.
Dari
Zurarah dia berkata, “Masa iddah bagi wanita yang mut’ah adalah 45 hari. Seakan
saya melihat Abu Abdullah menunjukkan tangannya tanda 45, jika selesai waktu
yang disepakati maka mereka berdua terpisah tanpa adanya talak.”[5]
Catatan:
Masa iddah adalah masa tunggu bagi wanita sebelum menikah lagi setelah hubungan
pernikahannya berakhir, baik karena perceraian maupun wafatnya sang suami.
Jangka
Waktu Minimal Mut’ah
Dalam
nikah mut’ah tidak ada batas minimal mengenai kesepakatan waktu berlangsungnya
mut’ah. Jadi boleh saja nikah mut’ah dalam jangka waktu satu hari, satu minggu,
satu bulan bahkan untuk sekali hubungan suami istri.
Dari
Khalaf bin Hammad dia berkata aku mengutus seseorang untuk bertanya pada Abu
Hasan tentang batas minimal jangka waktu mut’ah, “Apakah diperbolehkan mut’ah
dengan kesepakatan jangka waktu satu kali hubungan suami istri?” Jawabnya,
“Ya.”[6]
Nikah
Mut’ah Berkali-kali Tanpa Batas
Diperbolehkan
nikah mut’ah dengan seorang wanita berkali-kali tanpa batas, tidak seperti
pernikahan yang lazim, yang mana jika seorang wanita telah ditalak tiga maka
harus menikah dengan laki-laki lain dulu sebelum dibolehkan menikah kembali
dengan suami pertama. Hal ini seperti diterangkan oleh Abu Ja’far, Imam Syiah
yang ke empat, karena wanita mut’ah bukannya istri, tapi wanita sewaan.
Sebagaimana barang sewaan, orang dibolehkan menyewa sesuatu dan
mengembalikannya lalu menyewa lagi dan mengembalikannya berulang kali tanpa
batas.
Dari
Zurarah, bahwa dia bertanya pada Abu Ja’far, seorang laki-laki nikah mut’ah
dengan seorang wanita dan habis masa mut’ahnya lalu dia dinikahi oleh orang
lain hingga selesai masa mut’ahnya, lalu nikah mut’ah lagi dengan laki-laki
yang pertama hingga selesai masa mut’ahnya tiga kali dan nikah mut’ah lagi
dengan 3 laki-laki apakah masih boleh menikah dengan laki-laki pertama? Jawab
Abu Ja’far, “Ya dibolehkan menikah mut’ah berapa kali sekehendaknya, karena
wanita ini bukan seperti wanita merdeka, wanita mut’ah adalah wanita sewaan,
seperti budak sahaya.”[7]
Wanita
Mut’ah Diberi Mahar Sesuai Jumlah Hari Yang Disepakati
Wanita
yang dinikah mut’ah mendapatkan bagian maharnya sesuai dengan hari yang
disepakati. Jika ternyata wanita itu pergi maka boleh menahan maharnya.
Dari
Umar bin Handhalah dia bertanya pada Abu Abdullah, “Aku nikah mut’ah dengan
seorang wanita selama sebulan lalu aku tidak memberinya sebagian dari mahar.”
Jawabnya, “Ya, ambillah mahar bagian yang dia tidak datang, jika setengah bulan
maka ambillah setengah mahar, jika sepertiga bulan maka ambillah sepertiga
maharnya.”[8]
Bayaran
harus sesuai dengan hari yang disepakati, supaya tidak ada “kerugian” yang
menimpa pihak penyewa.
Jika
Ternyata Wanita Yang Dimut’ah Telah Bersuami Ataupun Seorang Pelacur
Jika
seorang pria hendak melamar seorang wanita untuk menikah mut’ah dan bertanya
tentang statusnya, maka harus percaya pada pengakuan wanita itu. Jika ternyata
wanita itu berbohong, dengan mengatakan bahwa dia adalah gadis tapi ternyata
telah bersuami maka menjadi tanggung jawab wanita tadi.
Dari
Aban bin Taghlab berkata: “Aku bertanya pada Abu Abdullah, aku sedang berada di
jalan lalu aku melihat seorang wanita cantik dan aku takut jangan-jangan dia
telah bersuami atau barangkali dia adalah pelacur.” Jawabnya: “Ini bukan
urusanmu, percayalah pada pengakuannya.”[9]
Ayatollah
Ali Al Sistani mengatakan Masalah 260, “Dianjurkan nikah mut’ah dengan wanita
beriman (iman versi Syiah –red) yang baik-baik dan bertanya tentang statusnya,
apakah dia bersuami ataukah tidak. Tapi setelah menikah maka tidak dianjurkan
bertanya tentang statusnya. Mengetahui status seorang wanita dalam nikah mut’ah
bukanlah syarat sahnya nikah mut’ah.”[10]
Nikah
Mut’ah Dengan Gadis
Dari
Ziyad bin Abil Halal berkata, “Aku mendengar Abu Abdullah berkata tidak mengapa
bermut’ah dengan seorang gadis selama tidak menggaulinya di qubul (vagina)nya,
supaya tidak mendatangkan aib bagi keluarganya.”[11]
Nikah
Mut’ah Dengan Pelacur
Diperbolehkan
nikah mut’ah walaupun dengan wanita pelacur. Sedangkan kita telah mengetahui di
atas bahwa wanita yang dinikah mut’ah adalah wanita sewaan. Jika boleh menyewa
wanita baik-baik tentunya diperbolehkan juga menyewa wanita yang memang
pekerjaannya adalah menyewakan dirinya.
Ayatullah
Udhma Ali Al Sistani mengatakan,
Masalah
261, “Diperbolehkan menikah mut’ah dengan pelacur walaupun tidak dianjurkan, ya
jika wanita itu dikenal sebagai pezina maka sebaiknya tidak menikah mut’ah
dengan wanita itu sampai dia bertaubat.”[12]
Pahala yang
Dijanjikan Bagi Nikah Mut’ah (Versi Syiah)
Dari
Shaleh bin Uqbah, dari ayahnya, “Aku bertanya pada Abu Abdullah, apakah orang
yang bermut’ah mendapat pahala?” Jawabnya, “Jika karena mengharap pahala Allah
dan tidak menyelisihi wanita itu, maka setiap lelaki itu berbicara padanya
pasti Allah menuliskan kebaikan sebagai balasannya, setiap dia mengulurkan
tangannya pada wanita itu pasti diberi pahala sebagai balasannya. Jika
menggaulinya pasti Allah mengampuni sebuah dosa sebagai balasannya, jika dia
mandi maka Allah akan mengampuni dosanya sebanyak jumlah rambut yang dilewati
oleh air ketika sedang mandi.” Aku bertanya, “Sebanyak jumlah rambut?”
Jawabnya ,” Ya, sebanyak jumlah rambut.“[13]
Abu
Ja’far berkata, “Ketika Nabi sedang isra’ ke langit berkata, Jibril menyusulku
dan berkata, wahai Muhammad, Allah berfirman, Sungguh Aku telah mengampuni
wanita ummatmu yang mut’ah.” Man La Yahdhuruhul Faqih jilid 3 hal 464.
Sebagai
catatan, ini adalah pendapat tokoh Syi’ah, bukan hadits Nabi.
Tidak Ada
Hubungan Warisan
Ayatullah
Udhma Ali Al Sistani dalam bukunya menuliskan, Masalah 255, “Nikah mut’ah
tidak mengakibatkan hubungan warisan antara suami dan istri. Dan jika mereka
berdua sepakat, berlakunya kesepakatan itu masih dipermasalahkan. Tapi jangan
sampai mengabaikan asas hati-hati dalam hal ini.”[14]
Tidak
Berhak Nafkah
Wanita
yang dinikah mut’ah tidak berhak mendapatkan nafkah dari suami.
“Masalah
256, Laki-laki yang nikah mut’ah dengan seorang wanita tidak wajib untuk
menafkahi istri mut’ahnya walaupun sedang hamil dari bibitnya. Suami tidak
wajib menginap di tempat istrinya kecuali telah disepakati pada akad mut’ah
atau akad lain yang mengikat.”[15]
Begitulah
gambaran mengenai 'enaknya' fiqih Nikah Mut’ah menurut agama Syi’ah. Lantas, bagaimana Islam memandangnya?
Mut’ah, Sudut Pandang Islam
Sebagai
ajaran yang paripurna, Islam sudah sedari awal menutup berbagai kemungkinan
phal-hal yang menimbulkan kerusakan. Khususnya dalam masalah hubungan antara
lelaki dan wanita non mahram.
Lantas,
bagaimana pandangan Islam mengenai nikah mut’ah?
Nikah mut’ah adalah haram dan
bathil jika terjadi berdasarkan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim
Rahimahumallah dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhu –semoga Allah meridhai beliau-, “Bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang
jenis pernikahan mut’ah dan (melarang) memakan daging keledai Ahliyah pada hari
Khaibar.” [16]
“Beliau
(Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam)
melarang dari jenis mut’atun nisaa’
(menikahi wanita dengan cara mut’ah) pada hari Khaibar.” [17]
Imam
Al-Khattabi berkata, “Pengharaman nikah mut’ah berdasarkan ijma’, kecuali
sebagian Syi’ah dan tidak sah qa’idah mereka yang menyatakan untuk ‘mengembalikan
perselisihan kepada Ali’, padahal telah shahih dari Ali pendapatnya bahwa nikah
mut’ah telah dihapus hukumnya.”
Imam
Al-Baihaqi menukilkan dari Ja’far bin Muhammad (Al-Baqir) bahwa beliau pernah
ditanya tentang nikah mut’ah maka beliau menjawab, “Itu (nikah mut’ah) adalah perbuatan zina.”
Sebagian kalangan mengklaim bahwa
Nabi menghalalkan nikah mut’ah. Benarkah?
Memang benar Nabi dulu masih
memberi toleransi. Akan tetapi itu dikarenakan masyarakat Arab saat itu masih
dalam masa transisi antara masa Jahiliyah menuju masa Islam, sehingga memerlukan
proses untuk benar-benar meninggalkannya. Setelah proses berjalan, mut’ah kemudian
diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
hingga hari kiamat.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh!
Aku dahulu mengizinkan kalian untuk melakukan mut’ah dengan wanita.
(Ketauhilah!) sesungguhnya Allah telah mengharamkannya (mut'ah) sampai hari kiamat.
Barangsiapa yang masih melakukannya hendaklah meninggalkannya dan jangan
mengambil sesuatu yang telah ia berikan kepadanya (wanita yang dia mut’ahi).”
[18]
Adzab
Bagi Pezina
Dengan
melihat fakta bahwa mut’ah tak lain adalah zina berkedok agama, hendaklah kita
waspada. Mengenai adzab bagi pezina di akhirat, telah dijelaskan dalam sebuah
hadits yang panjang.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menceritakan mimpinya kepada para
sahabat -dan mimpi beliau layaknya wahyu-. Beliau menceritakan bahwa beliau
dibawa oleh dua malaikat, yaitu Jibril dan Mikail untuk menyaksikan berbagai
jenis manusia. Kemudian tibalah beliau di sebuah lubang seperti tempat
pemanggangan roti, bagian atasnya sempit dan bagian bawahnya luas, di bawahnya
dinyalakan api. Ketika api tersebut mendekat atau menyambar maka orang-orang di
dalamnya pun terangkat hingga hampir keluar darinya. Kemudian apabila apinya
mulai memadam, maka mereka pun kembali masuk di dalamnya. Di dalam lubang itu
ada laki-laki dan wanita-wanita
telanjang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Siapakah
orang-orang itu?” Tetapi tidak dijawab oleh mereka berdua. Kemudian beliau
pun beralih ke tempat lain. Hingga akhirnya, Malaikat Jibril pun
memberitahukan, “Adapun orang-orang yang engkau lihat di lubang tadi, mereka
adalah para pezina.”
{HR Al-Bukhari no.
1386}
Wabillahit Taufiq, wash shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam
[ Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta’ ]
_______________________________
[1]
Al Kafi. Jilid 5 hal. 451
[2]
Al Kafi Jilid. 5 Hal. 452.
[3]
Al Kafi Jilid. 5 Hal. 455.
[4]
Al Kafi Jilid. 5 Hal. 457.
[5]
Al Kafi . Jilid. 5 Hal. 458.
[6]
Al Kafi . Jilid. 5 Hal. 460
[7]
Al Kafi jilid 5 hal 460
[8]
Al Kafi . Jilid. 5 Hal. 452.
[9]
Al Kafi . Jilid. 5 Hal. 4621
[10] Al Sistani. Ali. Minhajushalihin. www.al-shia.com. Jilid 3
hal 82
[11]
Al Kafi jilid 5 hal 462.
[12]
Minhajushalihin. Jilid 3 hal. 8
[13]
Man La yahdhuruhul faqih. Jilid 3. Hal 464
[14]
Minhajushalihin. Jilid 3 Hal. 80
[15]
Minhajus shalihin. Jilid 3 hal 80.
[16] Al-Bukhari
dalam Kitab Al-Hiyal (6560) dan Muslim dalam kitab An-Nikah (1407), juga
terdapat dalam Sunan Tirmidzi dalam kitab An-Nikah (1121), Sunan An-Nasa’i
dalam kitab Ash-Shaid wa Adz-Dzaba’ih (4334), Sunan Ibnu Majah dalam kitab
An-Nikah (1961), Musnad Ahmad bin Hanbal (1/79), Muwaththa’ Malik dalam kitab
An-Nikah (1151), Sunan Ad-Darimi dalam kitab ¬An-Nikah (2197).
[17] Dalam
riwayat Malik 2/542, Ahmad (1/79, 103, 142), Al-Bukhari (5/78, 6/129, 2 30,
8/61), Muslim (2/1027, 1028 no.1407), Tirmidzi
(3/430, 4/254, no.1121, 1794), An-Nasa’I, (6/125-126, 7/202, 203,
no.3365,3367,4335,4336), Ibnu Majah (1/630, no.1961), Ad-Darimi (2/86, 140),
Abdurrazzaq (7/501-502, no.14032), Abu Ya’la (1/434, no.576), Ibnu Hibban
(9/450,453, no.4143,4145), dan Al-Baihaqi (7/201,202).
[18]
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya dari Sabrah bin
Ma’bad Al-Juhani dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda.
Lafazh hadits (yang akan disebutkan ini) juga diriwayatkan Ahmad 2/405-406,
Muslim 2/1025, no.1406. Ibnu Majah 2/631, no.1962, Ad-Darimi 2/140, Abdurrazaq
7/504, no.14041, Ibnu Abi Syaibah 4/292, Abu Ya’la 2/238 no.939, Ibnu Hibban
9/454-455 no.4147, dan Al-Baihaqi 7/203.
Dalam http://www.fimadani.com
Muslim.Or.Id
nikah siri sama nikah kontrak sama nggak ?
BalasHapusYang patut juga diwaspai dari Syi'ah adalah ajaran taqiyah, yaitu merahasiakan keyakinan sebenarnya dari para lawan yang bisa merugikan agama dan jiwanya.
BalasHapusJadi pas kita tanya orang Syi'ah, bisa saja mereka mengelak kalo menghalalkan nikah mut'ah, karena itu bentuk taqiyah mereka.
Dan taqiyah dalam Syiah ini sangat penting. Posisi ajaran taqiyah dalam Syiah sangat esensial. Seperti kata al-Kulaini, penulis al-Kafi (kitab terkenalnya org Syi'ah):
لا دين لمن لا تقية له
“Tidak beragama orang yang tidak menggunakan konsep taqiyah.” (al-Kulaini, Ushul al-Kafi, jilid II, hal. 217). Karena itu, Ibnu Babawaih, tokoh besar Syiah klasik, berfatwa bahwa hukum menerapkan taqiyah itu wajib, seperti kewajiban menjalankan shalat.
@ akh Fahriza: Berbeda. Nikah sirri itu sebenarnya sudah sesuai dengan ajaran Islam, hanya saja tidak dilaporkan dan dicatat oleh negara. Sedangkan dari segi niat, nikah sirri sebenarnya nikah seperti biasa, dari awal ingin membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah hingga akhir hayat, hanya saja tidak dicatatkan ke negara.
BalasHapusSedangkan nikah mut'ah, selain tidak dicatatkan ke negara, juga dari awal tidak berniat menjaga ikatan pernikahan sampai akhir hayat, tapi dibatasi jangka waktu tertentu yang notabene sangat pendek, seperi sebulan, sepekan, atau bahkan sekali berhubungan intim.
@Anonim: Benar sekali. Itu merupakan poin penting lain yang patut dicermati pula.